Adulting 404: Perihal Coping Mechanism

Disclaimer: tulisan ini dibuat bulan Maret 2021.

Gue sering bilang, nyokap gue harusnya bersyukur punya anak yang coping mechanism-nya nggak aneh/berbahaya. Orang-orang lain seumur gue, kalo gagal/stres coping mechanism-nya ke club, ngerokok, dugem, open BO (ada gak sih? ada lah ya pasti), yang selain mihil juga merugikan diri sendiri.

Gue kira gue coping mechanism gue sehat: tidur, netflixan, makan Indomie, go-food sushi tei.

Ternyata... nggak sesehat itu.

Dan gue baru sadar karena gue abis makan sushi tei dan nangis-nangis karena gue merasa bersalah makan sushi tei.

Maksudnya, kenapa coba gue harus merasa bersalah makan sushi tei? I worked my ass off sepanjang Februari, dapet duit, dan mau makan enak sebagai self-reward. It's only sushi-tei, pula, bukan sesuatu yang saking mahalnya bisa bikin kepikiran seminggu! Gue pun menelaah perasaan gue lebih lanjut (gue mempertanyakan hal-hal ini kepada diri gue sendiri, seperti: Apakah yang gue rasakan adalah perasaan bersalah? Kenapa? Apa gejalanya?). Gue pun sadar bahwa gue bukan merasa bersalah karena menghabiskan uangnya untuk makan (I should've known! I'm a Taurus!).

stereotype pada Taurus.

Gue merasa bersalah karena gue belum "merasa" melakukan apapun yang worth-achieveing di minggu itu sampe gue boleh makan sushi tei.

Sampe situ, masih understandable. Gue suka BANGET salmon, dan menurut gue salmon harus dihormati dengan hanya dimakan pada situasi-situasi penuh kemenangan. 

Tapi gue merasa bersalah sampe nangis. Sampe nggak mau tidur malemnya (buat ngerjain kerjaan yang NGGAK ADA, karena emang lagi kosong, pada saat itu), just to get rid of the guilt of not... achieving. Even worse, gue nggak mau makan di hari berikutnya, again, to get rid of the guilt

Gokil, kayaknya penulis blog ini butuh pergi ke terapi.

Sebagai orang yang suka refleksi diri dan berpikir, gue pun kembali menelaah, apa sih awal mulanya siklus self-reward -> merasa bersalah karena self-reward -> self-punish ini? (Nggak sih, sebenernya karena gue termasuk tipe orang yang sulit memproses perasaan gue, jadi setiap kali sesuatu terjadi, gue harus... memikirkan baik-baik untuk tahu perasaan apa yang gue rasakan.... tapi it's for another blog post! ;)).

Ternyata, karena gue terbiasa memakai kebutuhan pokok seperti makan dan istirahat sebagai self-reward.

Ini bermula dari semester 5, semester yang bener-bener SINTING saking sibuknya. Untuk memotivasi gue menyelesaikan segala hal tepat waktu, gue membuat to-do-list dan self-reward, kayak "kalo tugas besar struktur beton selesai sampe kolom, lo boleh makan malem!" atau "boleh tidur kok... kalo udah nyelesain progress bikin jalan". Masih normal.

Yang jadi masalah adalah, karena semester itu SINTING, tentu saja nggak segampang itu buat gue nyelesain tugas besar sampe kolom atau nyelesain pembuatan jalan itu. Jadinya... gue nggak boleh makan, dong? Dan nggak boleh tidur? Kan belum selesai!

"I can't talk right now, I'm doing sad gifted kid burn-out shit!"

Bener-bener nggak sehat, karena makan dan tidur bukanlah sesuatu yang luxurious, itu necessity! I literally have to do them to stay alive longer. Dan meskipun gue memang punya mmm sedikit suicidal tendencies, gue nggak pengen mati di umur segini gara-gara nggak makan soalnya belum nyelesain tubes.

Beberapa bulan belakangan, gue mulai sadar kalau gue... gila (oke, sori, harusnya sadar sejak lama). Gue nggak tahu gue gila sejak kapan, tapi gue baru sadar kalo I put my worth into my achievements, yang sayangnya nggak terlalu banyak dan nggak terlalu bisa dibanggakan.

Karena dari kecil gue biasa perform well academically, I put my self worth into that stuff. Guelah "Jemi si Pintar", "Jemi si Udah-Bisa-Baca-dari-Umur-3-Tahun", "Jemi si Ayo-Ikut-Lomba-3-Kali-Sebulan-dan-Menangkan-Semuanya". Kemudian, saat gue masuk UI, gue pun sadar kalo gue cuma ikan kecil dalam kolam yang GUEDE BANGET. Semua orang adalah "si Pintar" dan "si Berpengaruh" dan "si Jago Ngomong", dan "si Penulis Hebat". I am no longer special.

And if what I've always been called for is taken away from me, what am I left with?

Ya "Jemi si Gagal", laaach.

meme tahun 2015. masih relatable.

Anyway, knowing I won't perform well due to this issue (and I NEED to do well because of, well, this issue), gue pun mencari solusi-solusi jangka pendek untuk menyudahi era dibabuin kapitalisme ini:

1. Buat to-do-list kecil-kecil setiap hari! 
Mau sekecil apapun perkembangannya, progress ya tetep progress. Makanya, lo bisa menargetkan hal-hal sepele, hal-hal yang lo emang lakuin tiap hari, di dalam to-do-list itu. Terus kalo lo udah lakuin, lo bisa coret. Kayak gini:
    -mandi
    -nyicil tugas (blabla)
    -cuci piring
On your hard days, bahkan hal sesederhana bangun dari tempat tidur pun bisa jadi pencapaian lho! Dan karena hari itu lo berhasil mencapai sesuatu, berarti lo berhak untuk makan, tidur, atau necessity lainnya. 

2. Shift your mindset of what you think as a reward or as a punishment. 
Misalnya, gue nggak suka makan ikan atau sayur, tapi makanan-makanan tersebut baik untuk tubuh gue kalau dimakan dalam batas normal. Jadi, misalnya gue gagal melakukan salah satu to-do-list dan merasa perluuuu banget menghukum diri sendiri, gue akan makan sayur! Rasanya nggak enak di lidah (so it's still a punishment), tapi baik untuk tubuh, jadi itu bukan upaya self-harm sederhana (nggak kayak begadang atau nggak makan).
Meanwhile, gue melihat makanan yang enak tapi kurang sehat kayak mi instan sebagai reward, tapi untuk an entirely different to-do-list. To-do-list beneran, kayak menyelesaikan tugas besar baja atau ikut lomba apaa gitu. Kalo gue udah selesai UAS, misalnya, gue boleh goreng Indomie. Enak di lidah, dan gue pun nggak perlu takut gue mengonsumsi terlalu banyak makanan nggak sehat karena gue jarang berhasil :D

Sayangnya, solusi-solusi di atas cuma solusi jangka pendek. Gue masih melihat kebutuhan-kebutuhan seperti makan dan tidur sebagai hal yang cuma bisa gue lakukan kalo gue udah melakukan sesuatu, pun masih merasa perlu menghukum diri sendiri secara gagal. Jadi secara mindset, solusi ini nggak membantu sama sekali😐. Tapi seenggaknya kepala gue nggak pening karena kurang tidur dan lambung gue nggak perih karena nunda makan.

Well, segitu dulu cerita tentang coping mechanism ngaco yang gue develop di awal 20-an ini. Semoga seiring dengan bertambah tua dan bertambah dewasanya gue, gue bisa lebih yaudah perihal pencapaian dan hidup untuk... hidup. Masih lama sih, kayaknya. So until then, stay alive.

bye!

Comments

Popular Posts