Sebuah Kisah Klasik


Gadis itu. Lima belas tahun. Rambutnya lurus tanpa ombak—beda jauh dengan rambutku—hari ini dijalin rapi membentuk kepang dengan satu dua pita. Tungkainya langsing dan panjang, kulitnya pucat dengan pipi kemerahan seperti apel, dan matanya biasanya berseri, namun hari ini, ia sama monokromnya dengan biskuit oreo.
Ia memainkan keliman kemejanya dengan gugup.
“Bersenang-senanglah,” aku mengecup ubun-ubun anak perempuanku setelah aku menurunkannya di lobi sekolahnya. Namanya Adishree Ashkaya, kilau kelembutan immortal dalam bahasa sansekerta. Putriku, semestaku. Ia mengelak gusar dan aku tertawa. “Aku serius. Aku akan… berjalan-jalan sebentar. Sepuluh menit sebelum masuk, aku akan ke aula, oke?”
Ia mengangguk, lalu naik ke atas. Aku menatapnya dengan sayang, dan mengedarkan pandangan.
Halo, aku pulang.
Dalam rumahmu, kamu bisa melakukan segalanya. Rumahmu menerimamu, tangannya terbuka dan kamu bisa meringkuk nyaman di dalamnya.
Aku melaju sejauh kakiku bisa membawaku.
Ini lorong yang sama, yang berdekade-dekade lalu kulewati. Beberapa detail telah berubah. Pohon Bintaro yang dulu kujadikan markas dalam permainan benteng telah tiada, sesemakan lama telah dipangkas, gedung belakang telah dipugar.
Tapi lorong ini sama.
Dulu, lima windu lalu di mana aku mneyentuh lorong ini, mengucapkan perpisahan. Gaung sedu sedan kawan-kawanku kembali terngiang, pelukan-pelukan terakhir diberikan, janji-janji diedarkan. Impian-impian mengudara.
Tempat ini telah menjadi rumahku selama bertahun-tahun, sampai aku meninggalkannya, dan kemudian mengenalkan anakku pada keindahannya. Pada pelajaran yang kucecap darinya, pada kenangan yang telah dipindahtangankan dari guru-guru ke murid-muridnya, dari almamater ke almamater.
Kini menjadi gilirannya untuk meninggalkan rumahnya.
Itu tidak akan mudah, selama bulan-bulan mendatang. Ia akan merindukan senja oranye yang berpendar melewati pilar-pilar kuning, merindukan hutan yang bisa dilihat dari jendela kelasnya. Ia akan merindukan guru-gurunya yang bijak dan realistis, teman-temannya yang unik dan cerdik.
Mengenang masa laluku sendiri, aku melewati labirin mungil tempat kami menciptakan cerita-cerita absurd dan gerakan-gerakan aneh. Tempat kami mencari jalan dan melangkah ke hutan sekolah, tempat kami menukar cita, tempat kami mengukir janji untuk sukses bersama.
Aku mengenal putriku. Aku tahu ia dan teman-temannya, telah menaruh hatinya di sini.
Mengelus pintu lapuk rumah kaca dengan sayang, aku kembali mengucapkan selamat tinggal, menutup buku yang sudah kuselesaikan bertahun-tahun lalu.
Aku sampai di lantai teratas gedung ini bertepatan dengan keluarnya murid-murid untuk berbaris membentuk formasi, rutinitas lama yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Ramai, suara-suara anak-anak yang penuh emosi… semangat, gairah, dan kemurungan, berdesingan.
Aku menghampiri anak perempuanku, kilau kelembutan imortalku, yang kini sedang melakukan gerakan aneh dengan temannya—gerakan yang, pernah kulakukan dulu, nyaris persis.
“Ashka,” aku menatap matanya yang berkilau. Tahun-tahun bergemuruh di sekeliling kami, dan begitu aku sadar, tahun-tahun kebersamaan kami meleleh dalam genggamanku. Aku ingin menggapainya, ingin mendekap anak perempuanku dan menjadikannya gadis kecilku selamanya, namun ia berhak memiliki hidupnya sendiri.
Aku memeluknya.
Peluk semua yang kau sayangi, katakan segalanya, jangan menyesal. Bersenang-senanglah. Ini hari terakhirmu. Sebagai siswa.
Katakan sampai jumpa, bukan selamat tinggal. Seberapa jauhpun kamu pergi, kamu akan kembali.Suatu saat nanti. Setelah sekian lama. Aku janji.
Namun segalanya takkan sama lagi.
Aku ingin mengucapkannya, membuat anakku mengerti, tapi itu akan merusak kejutannya.
It’s not us who seize the moment. I always think it’s other way around.” bisikku. Itu saja. “It’s the moment who seizes us.
Ia melepas pelukannya, menyeringai. “Klise.”

“Bukan klise,” jawabku seraya mengelus poninya. “hanya klasik.”

Comments

Popular Posts