Meski Aku Tidak Ingin Kamu Pergi

Saat ini aku merasakan inginku untuk bersamamu tiap-tiap waktu. Biar seluruh penjuru kota kita sapa dengan langkah kaki dan biar helai daun berbisik-bisik mengingat tentang kamu yang menjaga aku tetap padu.
Biar buku-buku lama di perpustakaan ikut menceritakan soal kita, biar nyamuk-nyamuk di beranda bercanda tentang kita. Biar ramai jalan raya menjadi hening dan sepoi senyap menjadi sorak-sorai.
Rasanya aku ingin melakukan segala rutinitasku bersama kamu. Agar aku lebih-lebih menyukai membaca dalam hening dengan kamu di sisiku, agar rangkaian tugasku terasa lebih sederhana di mana bersamamu aku merasa memiliki selamanya. Agar saat mengingat hal-hal sederhana lipurlah laraku, luruhlah senduku.
Aku ingin menyimpan senyummu di sisi-sisi catatan fisika, gelak tawamu dalam dompet merah muda. Maunya aku mengabadikan suaramu dalam saku dan kusebar rengkuhmu dalam bunga-bunga yang tumbuh di kiri kanan setapak rumahku.
Tapi sebagaimana aku dibesarkan untuk siap terhadap segala sesuatu, tiadalah baik menyimpanmu dalam tiap sudut keremangan kota, dalam kopi murah yang kita katakan sebagai robusta. Seharusnya aku menyiapkan tempat untuk sembunyi. Supaya aku bisa lari.
Tidak baik setiap sudut kota mengingat kita bersama-sama. Supaya ada mereka yang tidak bertanya saat aku berkelana seorang diri, supaya mudah aku melewati stasiun yang tidak pernah kutapaki bersamamu atau supaya ringan kepalaku melalui jalan-jalan yang takkan pernah menjadi latar sejarah aku bersamamu.
Supaya nanti, kalau-kalau kamu pergi—
akan mudah bagiku menatap beberapa tempat tanpa disusup sepi.

—Jakarta, Desember 2016 (saat seharusnya sedang belajar fisika)

Comments

Popular Posts