Sebuah Surat Terbuka untuk Kamu yang Pasti Tahu Siapa Kamu (1)

Aku nggak tahu kamu akan baca ini atau nggak. Tapi, mengenal kamu, kamu satu dari tiga orang yang selelalu mengecek situs ini setiap waktu. Ini sarana komunikasimu yang terakhir kalau aku mau mempertaankan kewarasanku yang terakhir untuk nggak menghubungi kamu selama jangka waktu yang entah kapan. Untuk sekaliii aja, selama bulan-bulan yang sulit sama kamu, aku ingin punya prinsip. Kalau aku janji pada diriku untuk beristirahat dulu, harus kulakukan. Maafkan atas ketiadaan privasi dari surat terbuka ini, ya.

Sedikit warning, surat ini mungkin akan kelihatan seperti ditulis oleh orang yang kurang waras. Orang kurang waras yang tidak tidur selama sebelas hari dan dipaksa tinggal di ruangan kosong dengan sepinya yang tanpa jeda. Ada begitu banyak yang harus disampaikan, begitu banyak rasa sakit yang tertahan, tangis yang belum tumpah dan rencana yang belum selesai. Berputar-putar. Untuk ketidakjelasan surat ini, untuk ketidakjelasan kita, maaf.

Pertama-tama, maaf harus meninggalkan kamu setiba-tiba itu. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Kamu membuat aku senang pada level yang baru aku tahu bisa kucapai. Kamu membuat aku sedih pada tingkat yang baru aku tahu bisa aku rasakan. Kemarin aku udah nggak kuat lagi. Kamu tahu kalau aku udah nggak stabil gimana. Lebih dari dua kali dalam sehari aku sesek napas, ujung-ujung tungkaiku dingin dan aku gemeteran. Masih cuma kamu yang bisa menangkal itu. Seperti dulu waktu aku sakit kepala, suaramu yang meredakan. Waktu mual dan demam datang, sekadar keberadaanmu aja udah menolong. Dan masih sama hingga sekarang. Walaupun kegelisahanku kamu yang menyebabkan. Aku butuh kamu meskipun siklus sakitnya akan kembali berulang. Aku butuh kita meskipun kita sudah kedaluarsa.

(Semoga belum. Semoga belum)      

Tapi, bener kata kamu. Semua ini nggak harus tentang aku. 

Maaf untuk itu, ya. Aku belum bisa mengerti kamu. Aku harusnya sadar kalau the world doesn't revolves around me. Ini kembali ke masalah ekspektasi, karena aku berpikir, "perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan". Karena itulah aku seekstra itu. Karena aku mau, karena aku merasa kamu pantas disayangi dengan cara seperti itu. Salahnya, aku jadi berekspektasi. Aku berekspektasi bahwa kamu melihatku sama berharganya.

Lihat, aku jadi orang yang pamrih. Kupikir aku memang bukan orang baik. Kalau misalnya aku orang baik, apakah kamu masih akan tetap tega melakukan hal yang sama?

Poin kedua: aku masih merasa... it's not too much if you ask it from the right person. Kalau aku terus menerus merasa tidak enak meminta sesuatu yang kupikir seharusnya bisa jadi milikku (waktumu, prioritasmu), berarti ya... kamu bukan orang yang tepat. Orang yang tepat tidak akan membiarkanku meminta. Apalagi meminta, memohon, kemudian kecewa.

Poin ketiga: aku tahu kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku tahu kok, paham sekali kalau kamu sudah mengerahkan segala sesuatunya. Tapi kalau aku jadi kamu, aku selalu tahu apa yang harus aku lakukan. Aku akan bilang, "ma, maaf, tapi kemarin aku bertemu Jemi belum ada sejam. Hari ini sama dia, boleh? Aku sudah lama sekali nggak ketemu."

Poin kelima, if there is a will, there is a way. Kamu bahkan nggak mau melakukan ini. Benar?

Keenam, maaf soal ini. Aku nggak ngerti kamu lupa atau gimana apa yang udah aku lakukan, tapi menurutku nggak layak untuk men-ditch away orang yang udah nungguin kamu sebegitu lama dan ketika orang itu meminta sesuatu yang jadi haknya, kamu marah. Manja, katamu. Kamu? Nggak punya respek, kataku.

Kamu tahu aku sesedih apa. Kamu tahu aku setidak stabil apa.  Mungkin memang kepedulianmu yang udah nggak ada. People change. It's okay. Kamu yang minta aku nggak membandingkan, but I can't help it. Kamu melakukan hal yang sama.

Ketujuh. Sepertinya, aku juga melakukan hal yang sama.

Maaf untuk itu. Aku nggak pernah bermaksud, kamu tahu itu. Aku masih percaya kamu orang baik. Nanti, temukan perempuan yang baik, ya. Yang berlaku sekadar hanya untuk bahagiamu! :-)

Kedelapan, maaf untuk pengambilan keputusan yang tidak mempertimbangkan kamu.
Kemarin-kemarin, waktu kamu minta perpisahan sementara, aku menolak keputusanmu. Kemudian sebaliknya. Tidak ada yang cukup berani menentang, takut satu sama lain urung kembali. Nnggak jadi-jadi, kan. Aku rasa, harus ada badai untuk menetralkan suasana. Kalau kita mau kembali seperti semua, harus ada tindakan ekstrem seperti ini. Harus ada spasi di antara kata-kata supaya bisa dimengerti. Kita terlalu lama bingung dan butuh jarak. Sebentar.

Kesembilan; semoga jangka waktu yang ada cukup hingga kita pulih. Aku sih akan kembali. Aku harap kamu juga. Setidaknya kalau bukan untuk kembali bersama, aku mau minta maaf saja.

Kesepuluh. Aku sayang kamu. Aku akan kembali sesegera mungkin. Semoga. Selamat menjalani petualanganmu yang tanpa aku, Tuhan memberkati kamu dan kehidupanmu.

Comments

Popular Posts