---ya lagi mau curhat aja.

Before that day, I've never felt so unloved, unworthy, and unwanted like this. Ini jam satu pagi di hari Kamis dan sembilan jam lagi kuis fislis, but godammit. I thought I was happy but sejak hari Minggu, nangis tiap malam udah kayak kewajiban. I know you hate me ranting on this site, but, godammit. You were never there to listen, anyway. You told me "I'll be there" and you asked me to tell you if anything is wrong, but where were you when I told you I was at my lowest?

Tapi jangan marah dulu. This writing also contains some sweet things. I promise you'll love it.

So ya, I'm just gonna write. Bilingual karena aku anak Jaksel just like that, no?

(i admire my ability to joke while tearing up and sobbing myself to sleep)

Waktu kamu dulu bilang berulang-ulang, "maaf, kita udah nggak bisa" "maaf ya jem" "it's okay, you will be okay without me😊" "aku nggak pantes buat kamu" "kamu akan mendapatkan yang lebih baik", I surely thought it was because you love me. Karena kamu nggak mau aku sakit lagi, karena kamu pikir aku memang lebih baik karena, hey, di luar sana ada banyak orang yang akan sayang sama kamu, Jem!

I thought I was precious, and you were protecting me from yourself.

We, then, tried again. Our best. I can see we tried our best to make us happened. We did and for a long time, I thought you still did. Then life happened and I no longer am sure.

But I tried again. We tried again.

But the second time it happened... I had a hard time settling the fact in my head that you, simply, don't want me anymore. Segampang itu. Sesimpel itu. Dua kali kamu minta pergi, dua kali kamu bukan meninggalkan aku tapi membiarkan aku pergi. "Aku di sini, tapi kalau kamu pergi, silakan."

Was I so unworthy that I let people let me go so easily?

Kalau aku harus minta diperlakukan dengan layak supaya kamu perlakukan dengan layak, kalau setiap aku meminta kamu dan kamu berdalih "I'm not the right one for you", kalau kamu bilang "tapi kita sudah selalu mencoba dan hasilnya sama aja" setiap aku ajak "ayo, kita coba lagi".

Maybe you were right, we need to learn when to stop.

Kalau selalu sesakit ini, kalau aku sudah selalu bilang apa yang membuatku sakit dan kamu masih berulang kali berlaku lagi. I thought that is the saddest point of this whole relationship. Bukan ketika kamu tidak tau, tetapi ketika kamu tau dan berlaku lagi.

Tapi kemudian aku coba memahami bahwa "maaf, kamu boleh pergi" adalah bentuk meninggalkan yang dibalut dengan rasa kasihan. Dengan kebaikan because, oh God, you are still the most kind-hearted person I've ever known. Kamu masih sebaik itu, sememesona itu, sesempurna itu. Kamunya, tanpa embel-embel siapa kamu bagi aku, if that make sense. Quoting your phrases before, "tapi aku bukan yang baik untuk kamu, Jem."

Sekian penolakan kemudian, masih dalam wujud pembicaraan di telepon, aku masih diam. Waktu itu aku cuma tidur telentang di kamar sebelah, kamar tempat kita biasanya teleponan dan ngobrol soal apa aja kalau mamaku lagi di kamar. Sore itu kita ngobrol tentang pisah.

Sepanjang percakapan di telepon we both cried, but at that point... aku gatau lagi. Aku kira aku sudah ada di titik tersakitku waktu kamu tahu-namun-tidak-berhenti-menyakiti. I was wrong. I was so hurt at the point of I can't even cry. Bisa bayangin gak, aku segampang itu nangis dan saat itu aku bahkan ngga bisa nangis... aku sesek napas dan aku bahkan nggak berusaha untuk tetep napas, lol.

Kamu berulang kali manggil aku. I thought, "this is the last time I'm gonna hear you calling my name. I must treasure it." sehingga aku diam, hahaha. Karena berikutnya, kapan lagi? "Kita bisa jadi teman," katamu, tapi aku nggak bisa membayangkan aku curhat ke kamu tentang orang lain. Atau sebaliknya. She must be so precious, ya, the girl after me, sampe bisa mendistraksimu dari kehidupanmu yang sibuk? I am also precious, I was.

Kemudian beberapa balon percakapan terjadi (aku akhirnya berbicara) dan aku sadar kamu menyerah karena kamu pikir usahamu ngga ada gunanya. Maaf. Maaf. Maaf sekali selalu meminta dan tidak pernah menghargai. Sampai kamu bosan berusaha, berpeluh dan bersusah untuk membuat aku senang sekali saja. Lalu, tentu saja, kita coba lagi.

Kita coba lagi.

Aku sudah pasrah akan kita tapi kamu mau coba lagi!

Lalu kita kembali jadi kita yang membuatku bisa mewarnai seluruh mood tracker-ku jadi warna kuning, warna bahagia. Kamu mengerjakan tugas sambil berceloteh. Aku diam, mendengarkan, hampir tertidur dibuai kelegaan.

Kamu masih di sini. Aku harus jaga. Jangan sampai hilang lagi.

Aku sayang kamu.

Lalu hidup terjadi lagi (apasih padanan kata bahasa Indonesia untuk ini?). Kita harus kembali ke realita dan kamu harus menutup telepon.

"Love you, Jem."

Sesuatu di dalam degupku membuncah, "love you too!!!" Aku semangat.

"Jem," katamu serius. "Dadah."

"Dadah, Jas."

"Ini... bukan yang terakhir kan?"

Aku tidak tahu. Semoga aku bisa berdamai dengan lukaku. "Ngga, sayaaang."

Aku bisa merasakan kamu tersenyum.

"Dadah Jemi," pancingmu.

"Iya, love you, Jas."

"Love you too!!!" kamu bersemangat. Telepon ditutup. Aku tertawa. Kita masih sama saja.

---------------

Malam menjelang tapi ternyata kita tidak sama saja. Tiba-tiba aku ingat dan sadar betapa pekat dan kuatnya rasa tidak diinginkan itu.

Pertanyaan berdatangan, am I still worthy of your love? Setelah kamu tahu semua yang pernah terjadi, alasan aku begini. Setelah kamu aku perkenalkan dengan masa laluku, sejarahku. Setelah kamu berjabat tangan dengan pikiran gelapku.

Aku berpikir lagi, "karena kamu tahu, maka kamu pergi".

Pekat sekali rasanya. Malam itu aku kembali berbaring tanpa air mata. Sedih rasanya hingga kosong. Perasaan menghimpit dadaku, erat sekali sampai aku tidak bisa napas lagi. Tapi toh bukannya aku suka-suka amat sama kehidupan. Jadi aku biarkan.

Malam-malam datanv dan sudah empat hari aku begini. Sakit dan lukanya belum sembuh, ternyata. Tapi aku coba lagi karena aku manusia paling keras kepala, atau logikaku sudah sirna dibabat fisika mekanika.

Selama kita masih akan coba lagi, ngga apa-apa terus begini, kata manusia tolol di kepala cabang otak kanan.

Kamu lupa, kamu tidak diinginkan? Itu tanda menyerah. Itu tanda mundur. Kamu cuma memohon atas belas kasihan. Kalau ini, kata manusia tolol cabang otak kiri.

Tapi intinya begini. Aku sayang kamu. Aku akan selalu mau coba lagi, tapi bila kamu juga mau. Bila grafik kita dengan x usaha dan y hasil berbanding lurus.

Bila kamu tidak menyerah lagi.

Tapi rasa-rasanya, kalau kamu menyerah untuk "kebaikan"-ku lagi, dan berujar seolah-olah aku Tuan Putri yang hanya minta diperjuangkan tanpa tahu melakukan sebaliknya, dan kalau, KALAU, manusia tolol cabang otak kiri masih mampu berlogika:

Aku akan pergi. Kamu membiarkan aku berlari tapi aku akan terbang kali ini. Tahun ini aku berjanji mencintai diri sendiri, dan caranya adalah dengan menjadi pemberani.

Kalau kamu akan melepasku lagi dengan alasan "I am not the right one for you," then that is it. You are right. You might be one, but you no longer are. I will deserve better.

I'd rather leave than fade away.

Comments

Popular Posts