Bukan Waktu yang Tepat untuk Menulis: Gue Punya Tiga Tubes
Belakangan, meskipun gue punya tiga tubes, gue lagi lumayan sering buka-buka archive story di IG. Sebelum-sebelumnya (berbulan-bulan yang lalu, sih), it took me my whole life hanya untuk buka archive IG. Gue takut sama nostalgianya, sedihnya, emosinya, karena gue simply nggak suka sedih. Dan nggak punya waktu untuk sedih.
Selama karantina, kita punya seluruh waktu di dunia ini untuk melakukan apa yang selama ini kita tunda demi hal-hal yang jadi kewajiban kita. Termasuk, mengecek apakah gue udah sembuh.
Oke, kita ceritakan secara kronologis.
Tahun lalu, Mei 2019, I lost someone that used to be my world, pada saat itu. Rasanya aneh banget, kayak... nggak nyata. Di hari pertama, sebelum faktanya settled, gue melihat diri gue sendiri siap-siap ke kampus, pake sepatu, kunci pintu---hal-hal yang biasanya gue lakukan tanpa bener-bener mikir. Kayak, itu kaki gue yang jalan? Itu tangan gue yang gerak? Hah?
Setelah faktanya settle, its a nightmare. Gue harus UAS, jadi gue berusaha memblokir semuanya dengan main sama semua temen-temen gue. Gue mencoba semua cara, bener-bener semua:
-Gue yang udah lama nggak baca Firman, nangis tersedu-sedu ke pelukan Tuhan.
-Gue menghubungi temen-temen lama (just in case temen-temen baru mulai muak sama cerita dan curhat gue) satu-satu, supaya gue bisa menceritakan sedih gue berulang-ulang kali, sampe rasanya biasa aja.
-Gue ke terapis (kemudian found out ternyata gue udah punya anxiety ini sejak lama... fak).
-Gue menghindari semua tempat yang membangkitkan ingatan tentang orang ini---awalnya tempat, lama-lama merambah ke lagu-lagu, ke makanan, ke baju... hhhh.
-Gue ke gereja-gereja lain (karena nggak sanggup ke gereja gue sendiri, too many memories).
-Gue ikut persekutuan se-UI
-Gue main twitter (karena nggak sanggup main IG)
-Gue belajar meditasi
-Gue percobaan bunuh diri
-Gue hampir ke dukun atau tukang hipnotis supaya gue nggak sedih.
Semuanya supaya sembuh.
(Mari have a moment to thank God gue nggak ngerokok, minum, narkoba, atau main tinder di masa-masa ini ya. Untung coping mechanism gue cat rambut warna ungu).
Gue melakukan semuanya kecuali nulis hal-hal sedih tentang orang ini. Kecuali mikirin dia secara sadar. Kecuali mengingat dan merasakan. Karena gue takut sama sedihnya. Takut sama perasaannya.
Waktu lo sedih, lo merasa masa itu nggak akan berakhir.
Waktu lo sedih, lo merasa sendirian. Lo boleh ceritain ini ke dua ribu orang, tapi mereka... nggak ngerti. Mereka peduli, tapi mereka nggak ngerti. Lo sendirian dalam gelembung and no one could ever popped in to make you feel less lonely.
Gue nggak ngerti gimana, tapi... kayaknya semua usaha gue, terlebih doa-doa yang gue haturkan ke pintu surga, akhirnya dijawab. Gue lupa persisnya, tapi di suatu tempat, di pelabuhan-pelabuhan di pesisir Copenhagen, di pegunungan dan tebing-tebing antara Bergen dan Oslo, di tanah bangsa Viking, di bawah langit Skandinavia, gue... sembuh.
Kemudian, I went only up sejak saat itu. Kuliah mulai dan gue nggak pernah merasa... sehidup itu! For so long! Bahkan ketika gue masih sama manusia ini. Gue baru sadar rasanya bebas. Nggak serta merta memang. Tapi kayak... ada harapan. Rasanya punya emosi yang sepenuhnya di tangan lo, bukan di orang lain bener-bener nggak tergambarkan. After so long, I finally feel in control abaout my life!
Mungkin juga karena tugas-tugas gue banyak banget. Mungkin juga karena gue semakin deket sama temen-temen gue. Mungkin karena Tuhan mendekatkan gue ke mimpi gue (kayak dikasih liat gitu lho, mimpi dan tujuan gue masih jauuuuh banget di ujung jalan. Tapi... keliatan. And I know what to do to achieve it). Tapi gue inget, saking lamanya gue sedih dan gelisah, di hari-hari itu, gue berdoa, bersyukur tiap malem kalo gue!!! masih!!! bisa!!! seneng!!! bro!!!
Karena akhirnya gue merasa stable, gue kecanduan merasa senang. Gue nggak mau kembali ke lembah itu lagi. Setiap ada satu hal yang mentrigger, gue akan lari dari hal itu. Bukan coping yang sehat, karena gue sebenernya nggak tau gue seneng atau terdistraksi. Still a good start, tho.
Kemudian, pelan-pelan, karena harus, dan karena capek lari-lari terus, gue pelan-pelan pergi ke tempat yang gue hindari, makan makanan yang gue puasa sebelumnya, pakai baju-baju yang gue nggak mau pake, denger lagu cinta lagi (ini sih karena gue head over heels tentang orang lain. Tapi itu cerita lain ;)). Pelan-pelan, pelaaan banget.
Dan gue masih sering kaget bahwa ternyata, gue nggak papa. Gue ke tempat-tempat ini terus... gapapa. Gue pake baju ini, makan itu, denger ini... gak papa.
Wow.
Di masa karantina, karena gue nggak sibuk, nggak punya hal-hal yang bisa mendistraksi gue, dan manusia ini juga berusaha berteman lagi sama gue, gue jadi sering re-think apa yang terjadi. Menelaah emosi-emosi yang datang, terus pergi. Menelaah perasan gue sendiri juga: gue ngerasa apa sih? Is this what I want? Am I happy with who I am now? How do things make me feel? Kayak apa gue sekarang? Orang seperti apa yang gue inginkan?
Dan gue jadi sadar (dibantu dengan "perjalanan" via stories archive instagram), seberapa jauh gue sudah bertransformasi (yes, seperti stress). Atau bermetamorfosis (yes, seperti larva dalam perut nyamuk).
Dan gue masih sering amazed tentang seberapa jauh setahun telah membawa lo bertumbuh.
Mei tahun lalu gue lagi gila, turun 9 kg, masuk rumah sakit. Nangisin satu orang.
Mei tahun ini gue ternyata bisa jatuh cinta lagi. Dengan intensitas yang sama, tapi dengan hati yang lebih lapang, otak yang lebih beres, dan emosi yang lebih bisa terkontrol.
Mei tahun lalu gue sibuk insecure ketika membuat CV CENS, dan bertanya-tanya gue bisa keterima jadi staff atau ngga.
Mei tahun ini gue mencalonkan diri jadi project officer-nya.
Mei tahun lalu gue sangat deket sama temen-temen kuliah, dan almost zero contact sama temen-temen lama (yang bukan the OG kayak Nafisa-Ismi).
Mei tahun ini, gue kembali sedekat itu dengan Alex dan Nadjes, gue reconnect dengan Gabby, Millen, Arthur, dan Dhika, gue develop pertemanan dengan Liefa, Diva, Andrea, Bintang, Dinda. Gue went deeper dengan Bastian, Nadya, dan Kevin. Gue akhirnya jadi beneran deket sama seupupu-sepupu gue, Joe dan Nezka.
Kayak... sejauh itu lho Tuhan bawa kita melintasi waktu. Gue berubah. Temen-temen gue berubah, baik siapanya maupun seberapa dalamnya.
Selama ini, gue bertanya-tanya, mungkin nggak sih suatu saat nanti gue bangun tanpa heavy feelings on my chest? Bisa! Bisa nggak sih jatuh cinta lagi? Bisa! Bisa nggak sih seseneng dulu lagi? Bisa!
Yang paling penting, bisa nggak sih inget masa-masa sedih itu tanpa triggered dan jadi sedih lagi? Bisa!
Life changes, but on so many cases, it gets better.
I can't be more thankful.
Selama karantina, kita punya seluruh waktu di dunia ini untuk melakukan apa yang selama ini kita tunda demi hal-hal yang jadi kewajiban kita. Termasuk, mengecek apakah gue udah sembuh.
Oke, kita ceritakan secara kronologis.
Tahun lalu, Mei 2019, I lost someone that used to be my world, pada saat itu. Rasanya aneh banget, kayak... nggak nyata. Di hari pertama, sebelum faktanya settled, gue melihat diri gue sendiri siap-siap ke kampus, pake sepatu, kunci pintu---hal-hal yang biasanya gue lakukan tanpa bener-bener mikir. Kayak, itu kaki gue yang jalan? Itu tangan gue yang gerak? Hah?
Setelah faktanya settle, its a nightmare. Gue harus UAS, jadi gue berusaha memblokir semuanya dengan main sama semua temen-temen gue. Gue mencoba semua cara, bener-bener semua:
-Gue yang udah lama nggak baca Firman, nangis tersedu-sedu ke pelukan Tuhan.
-Gue menghubungi temen-temen lama (just in case temen-temen baru mulai muak sama cerita dan curhat gue) satu-satu, supaya gue bisa menceritakan sedih gue berulang-ulang kali, sampe rasanya biasa aja.
-Gue ke terapis (kemudian found out ternyata gue udah punya anxiety ini sejak lama... fak).
-Gue menghindari semua tempat yang membangkitkan ingatan tentang orang ini---awalnya tempat, lama-lama merambah ke lagu-lagu, ke makanan, ke baju... hhhh.
-Gue ke gereja-gereja lain (karena nggak sanggup ke gereja gue sendiri, too many memories).
-Gue ikut persekutuan se-UI
-Gue main twitter (karena nggak sanggup main IG)
-Gue belajar meditasi
-Gue percobaan bunuh diri
-Gue hampir ke dukun atau tukang hipnotis supaya gue nggak sedih.
Semuanya supaya sembuh.
(Mari have a moment to thank God gue nggak ngerokok, minum, narkoba, atau main tinder di masa-masa ini ya. Untung coping mechanism gue cat rambut warna ungu).
Gue melakukan semuanya kecuali nulis hal-hal sedih tentang orang ini. Kecuali mikirin dia secara sadar. Kecuali mengingat dan merasakan. Karena gue takut sama sedihnya. Takut sama perasaannya.
Waktu lo sedih, lo merasa masa itu nggak akan berakhir.
Waktu lo sedih, lo merasa sendirian. Lo boleh ceritain ini ke dua ribu orang, tapi mereka... nggak ngerti. Mereka peduli, tapi mereka nggak ngerti. Lo sendirian dalam gelembung and no one could ever popped in to make you feel less lonely.
Gue nggak ngerti gimana, tapi... kayaknya semua usaha gue, terlebih doa-doa yang gue haturkan ke pintu surga, akhirnya dijawab. Gue lupa persisnya, tapi di suatu tempat, di pelabuhan-pelabuhan di pesisir Copenhagen, di pegunungan dan tebing-tebing antara Bergen dan Oslo, di tanah bangsa Viking, di bawah langit Skandinavia, gue... sembuh.
Kemudian, I went only up sejak saat itu. Kuliah mulai dan gue nggak pernah merasa... sehidup itu! For so long! Bahkan ketika gue masih sama manusia ini. Gue baru sadar rasanya bebas. Nggak serta merta memang. Tapi kayak... ada harapan. Rasanya punya emosi yang sepenuhnya di tangan lo, bukan di orang lain bener-bener nggak tergambarkan. After so long, I finally feel in control abaout my life!
Mungkin juga karena tugas-tugas gue banyak banget. Mungkin juga karena gue semakin deket sama temen-temen gue. Mungkin karena Tuhan mendekatkan gue ke mimpi gue (kayak dikasih liat gitu lho, mimpi dan tujuan gue masih jauuuuh banget di ujung jalan. Tapi... keliatan. And I know what to do to achieve it). Tapi gue inget, saking lamanya gue sedih dan gelisah, di hari-hari itu, gue berdoa, bersyukur tiap malem kalo gue!!! masih!!! bisa!!! seneng!!! bro!!!
Karena akhirnya gue merasa stable, gue kecanduan merasa senang. Gue nggak mau kembali ke lembah itu lagi. Setiap ada satu hal yang mentrigger, gue akan lari dari hal itu. Bukan coping yang sehat, karena gue sebenernya nggak tau gue seneng atau terdistraksi. Still a good start, tho.
Kemudian, pelan-pelan, karena harus, dan karena capek lari-lari terus, gue pelan-pelan pergi ke tempat yang gue hindari, makan makanan yang gue puasa sebelumnya, pakai baju-baju yang gue nggak mau pake, denger lagu cinta lagi (ini sih karena gue head over heels tentang orang lain. Tapi itu cerita lain ;)). Pelan-pelan, pelaaan banget.
Dan gue masih sering kaget bahwa ternyata, gue nggak papa. Gue ke tempat-tempat ini terus... gapapa. Gue pake baju ini, makan itu, denger ini... gak papa.
Wow.
Di masa karantina, karena gue nggak sibuk, nggak punya hal-hal yang bisa mendistraksi gue, dan manusia ini juga berusaha berteman lagi sama gue, gue jadi sering re-think apa yang terjadi. Menelaah emosi-emosi yang datang, terus pergi. Menelaah perasan gue sendiri juga: gue ngerasa apa sih? Is this what I want? Am I happy with who I am now? How do things make me feel? Kayak apa gue sekarang? Orang seperti apa yang gue inginkan?
Dan gue jadi sadar (dibantu dengan "perjalanan" via stories archive instagram), seberapa jauh gue sudah bertransformasi (yes, seperti stress). Atau bermetamorfosis (yes, seperti larva dalam perut nyamuk).
Dan gue masih sering amazed tentang seberapa jauh setahun telah membawa lo bertumbuh.
Mei tahun lalu gue lagi gila, turun 9 kg, masuk rumah sakit. Nangisin satu orang.
Mei tahun ini gue ternyata bisa jatuh cinta lagi. Dengan intensitas yang sama, tapi dengan hati yang lebih lapang, otak yang lebih beres, dan emosi yang lebih bisa terkontrol.
Mei tahun lalu gue sibuk insecure ketika membuat CV CENS, dan bertanya-tanya gue bisa keterima jadi staff atau ngga.
Mei tahun ini gue mencalonkan diri jadi project officer-nya.
Mei tahun lalu gue sangat deket sama temen-temen kuliah, dan almost zero contact sama temen-temen lama (yang bukan the OG kayak Nafisa-Ismi).
Mei tahun ini, gue kembali sedekat itu dengan Alex dan Nadjes, gue reconnect dengan Gabby, Millen, Arthur, dan Dhika, gue develop pertemanan dengan Liefa, Diva, Andrea, Bintang, Dinda. Gue went deeper dengan Bastian, Nadya, dan Kevin. Gue akhirnya jadi beneran deket sama seupupu-sepupu gue, Joe dan Nezka.
Kayak... sejauh itu lho Tuhan bawa kita melintasi waktu. Gue berubah. Temen-temen gue berubah, baik siapanya maupun seberapa dalamnya.
Selama ini, gue bertanya-tanya, mungkin nggak sih suatu saat nanti gue bangun tanpa heavy feelings on my chest? Bisa! Bisa nggak sih jatuh cinta lagi? Bisa! Bisa nggak sih seseneng dulu lagi? Bisa!
Yang paling penting, bisa nggak sih inget masa-masa sedih itu tanpa triggered dan jadi sedih lagi? Bisa!
Life changes, but on so many cases, it gets better.
I can't be more thankful.
Eh postingan gombal saringan diapus yak....
ReplyDeleteHAHAHA ini siapa sih??
Delete