Adulting 404: Belajar Mengolah Sedih

 Tulisan ini dibuat untuk mengenang Uda Tumpal, salah satu orang pertama yang percaya sama aku dan tulisanku. Ditulis dalam nama dan kejadian seasli-aslinya karena aku terlalu sedih buat banyak berpikir.

Pertama-tama aku akan mengenalkan keluargaku; di sini aku akan katakan sebagai Keluarga Tobing karena memang begitu adanya. Perkumpulan orang-orang bermarga dan berboru (bermarga/berboru = bernama belakang) Tobing, atau menikahi orang-orang yang bermarga dan berboru Tobing, atau lahir dari rahim-rahim perempuan boru Tobing. Nggak hanya sejauh kakek nenek dari papaku, papaku dan kakak adiknya, dan anak-anak mereka, melainkan jauuuh, sejauh ini.

kira-kira dari ayah dari kakekku, punya banyak anak, cucu, cicit, dan cucunya cucu. yep.

Keluarga Tobing berkumpul 3 bulan sekali untuk kebaktian, menyelenggarakan Natal dan Tahun baru yang luar biasa asyik, berpesta dan bernyanyi dengan hangat. Dalam pikiranku, keluarga Tobing adalah keluarga yang ideal. Aku seratus persen nyaman dengan mereka karena mereka tidak resek menanyakan kapan nikah? kapan punya anak?, karena mereka terdidik dan tidak mudah termakan hoax whatsapp, karena mereka punya selera humor yang mirip-mirip dengan aku. Karena keluarga ini keluarga yang sempurna, di mana semua orang terlihat sukses dan bahagia, di mana kerabat yang sakit selalu sembuh dan berujung baik-baik saja. Hampir tidak ada kematian/penguburan di keluarga Tobing. Selama 20 tahun aku hidup hanya ada 4, dua di antaranya adalah kakek dan nenek kandungku yang memang sudah berumur 85 tahun.

Itu sebabnya, aku merasa keluarga ini masih tahap beginner perihal mengolah sedih.

Paskah 2021. Selesai kebaktian, mamaku melihat ponsel dan terkesiap, "Bapaknya Nezka meninggal!"

Ini adalah jenis sedih yang membuatmu nyaris muntah. Duduk lama di pangkal tenggorokanmu, sedih jenis ini disimpan lamaaa sekali, sampai kamu merasa kamu betul-betul perlu. Jenis sedih ini mengguncang kami semua, keluarga yang sempurna, untuk kematian Uda-ku (uda adalah paman dari pihak ayah dalam bahasa Batak). Ketika keluar, rasanya seperti ada bola menghimpit tenggorokanku.

Seharusnya kami tidak terlalu kaget. Sejak Januari, beliau yang sedang berada di puncak karirnya, dengan istri yang cantik dan baik hati, anak-anak yang pintar dan manis, sedang jaya-jayanya, divonis kanker stadium empat. 

Sebagai keluarga Tobing yang sempurna, saat itu aku tidak percaya. Hampir semua yang berada di keluarga ini sehat walafiat hingga menginjak usia delapan puluh lima. Semua pengobatan berhasil. Semua rintangan dilalui. Aku yakin beliau, uda-ku yang pintar, lucu, dan luar biasa baik hati, akan kembali sembuh. Lalu nanti ketika pandemi sudah selesai dan kami bisa kembali kebaktian tiga bulanan di Pondok Indah, beliau akan muncul dengan tubuhnya yang tinggi, melambaikan tangan, dan bercanda lagi.

Yah, hari ini, segenap keluarga Tobing yang sempurna terpaksa menelan pil pahit bahwa tidak ada keluarga yang sesempurna itu, tidak semua penyakit bisa sembuh, dan uda-ku yang disayang Bangsa Indonesia (hampir secara harfiah) tidak akan kembali.

Pelajaran pertama dalam mengolah sedih: sedih bisa datang kapan saja.

Sebagai salah satu kerabat yang sampai di RSCM pertama kali, aku dan mama langsung ke ICU, dengan bodoh berharap akan ada tubuh uda terbaring, terlihat dari balik kaca. Aku merasa seperti ada di sinetron ketika dihampiri seorang suster yang berkata, "cari Bapak Joseph, ya? Sudah meninggal pagi ini." Seorang satpam menuntun kami menuruni lift, "Bapak Joseph ada di kamar jenazah."

?????? Bapak Joseph? Jenazah? Aneh. Tidak cocok. Beliau begitu hidup, di tangannya ada rencana dan pengharapan. Namanya dan kata jenazah tidak seharusnya ada di kalimat yang sama.

Aku, papa, dan mama melesat dengan kecepatan angin ke kamar jenazah. Bertemu Bou Ika, menangis. (Bou = panggilan untuk bibi dari pihak ayah. Di sini Bou Ika dan bou-bou lainnya adalah adik dari almarhum uda-ku, sepupu papaku). Bertemu Bou Sarah dan Om Dicky, nangis. Bertemu Uda Ruhut dan Tante Dewi, nangis.

Melihat Opung Doli Pondok Indah, aku mempersiapkan organ-organ dalamku. Opung Doli Pondok Indah disebut Opung Pondok Indah karena beliau adalah opung doli-ku (kakek) yang tinggal di Pondok Indah. Aku melihat beliau sebagai pribadi periang yang sukses dan penyayang. Hari ini, kesuksesan beliau untuk tetap menjaga umurnya sepanjang mungkin bersama istrinya, bahkan melebihi anaknya, kuprediksi sebagai sesuatu yang akan membuat kami tersedu-sedu.

Aku memeluk Opung.

??? kering? tanpa guncangan???

"Yah, memang begitulah. Ada waktunya orang datang dan pergi," kata Opung tenang di dalam pelukanku. 

???

Aku tahu, sih, opung-ku imannya tidak main-main. Bahkan di grup Whatsapp keluarga, ketika beliau menginfokan kepada kami, nadanya tenang dan tetap berpusat pada rasa syukur.

yang atas adalah pesan dari opung-ku. Setenang ini.

Tapi aku tidak menyangka beliau setenang ini di dunia nyata. Tubuhnya yang gempal masih hangat, matanya masih penuh tawa. Entah sedihnya belum sepenuhnya terasa atau memang beliau manusia tertabah sedunia.

Pelajaran kedua dalam mengolah sedih: sedih bisa dialami dalam bentuk yang berbeda-beda.

Anyway, level selanjutnya adalah bertemu Prudence dan Nezka, sepupu-sepupuku. Aku memeluk Prue si bocah SMP, yang bahkan sudah tidak sanggup menangis. Aku memeluk Nezka, tersedu-sedu, aku mengelus punggungnya berharap bisa menyerap sedihnya. Level selanjutnya, menghadapi Tante Putri, istri almarhumah. Matanya sembab tapi kering, dan aku melihat bahunya yang kurus dan lelah sebagai bahu paling kuat sedunia.

Aku lumayan piawai berkata-kata, tapi dalam situasi seperti ini otakku korslet. Tidak masalah, karena tidak ada satu patah katapun yang bisa membuat mereka merasa lebih baik. Kehilangan abang, kehilangan anak, kehilangan ayah, kehilangan pasangan hidup. Aku tahu aku tidak akan mampu mengerti rasanya, separuhnya pun tidak.

Salah satu hal yang kukenali dari rasa sedih, apapun penyebabnya, adalah perasaan terkurungmu di dalamnya. Rasanya seakan-akan kamu ada di dalam gelembung air yang penuh sesak, di mana seberapa pun susahnya orang-orang di sekelilingmu ingin mendobrak masuk, kamu tetap sendirian di situ, terpisah dari dunia, berkontemplasi antara bertahan hidup atau menyerah dalam sesaknya.

Mungkin begitu rasanya. Seberapa eratpun aku berusaha memeluk Prue dan Nezka, seberapa banyak pun patah kata penghiburan diperdengarkan, mereka harus memerangi sunyinya sendiri-sendiri.

***

Sedih adalah pengalaman yang personal. Familiar untuk semuanya, tapi dirasakan dan ditanggung dengan cara yang berbeda-beda. Yang sama adalah sepinya, rasa putus asanya, sesaknya, tenggelamnya. Didesain Tuhan untuk dihadapi tanpa jalan pintas.

Rasanya kita bergerak dalam percepatan waktu yang luar biasa abstrak saat berada dalam gelembung sedih. Bisa-bisanya dunia runtuh hari ini, tapi dunia ini tetap berputar dan tertawa seperti biasa? Aneh dan agak membuat para penyintas sedih ingin murka.

Di sudut kamar jenazah, papa sedang mengobrol dengan Bapak Joseph, uda-ku itu. Papa melepas topinya dan mengobrol, setengah yakin uda-ku akan menjawab. Aku menghampiri dan nyaris menjulurkan tangan, berkata halo, dan menceritakan progress tulisanku---semacam rutinitas kami dalam kebaktian tiga bulanan.

Namun uda-ku tampak... kuning dan kurus. Di atas meja jenazah yang dingin, selimutnya menutupi hingga batas leher. Begitu asing, sehingga aku tahu dia akan menjawab. Begitu nyata, sehingga aku juga tahu dia akan diam saja.

Pelajaran ketiga dalam mengolah sedih: sedih adalah pengalaman yang personal.

***

Fast forward, tahu-tahu kami sudah sampai di rumah duka. Adik-adiknya mengurusi segenap surat dan berkas dengan mata yang sembab namun kering. Opung Boru Pondok Indah (istri dari opung-ku alias nenekku) belum sanggup datang, masih di rumah mengurai kesedihan didahului anak. Opung Doli bangkit, berkata "saya mau pilih-pilih peti dulu."

Piluh-pilih peti kematian anakmu sendiri, hati siapa yang tidak hancur?

Ruangan yang disewa untuk kebaktian dan upacara adat hampir selesai dibereskan. Mama dan Opung Boru Cikini (nenekku yang lain lagi, tinggal di Jalan Cikini), menghitung-hitung jumlah kardus snack yang mampu mengakomodasi ratusan tamu yang akan datang silih berganti. Bou-bou yang lain mengurus surat dan berkas. Nezka dan ibu serta adiknya pulang ke rumah, mengambil barang-barang bapaknya. Dengan hati kosong aku melihat uda-uda-ku yang lain menandatangani kwitansi pengiriman papan-papan bunga, menelepon sana sini.

Pelajaran keempat dalam mengolah sedih: sedihmu harus mau menunggu sibukmu!

***

Opung-ku duduk sendirian, menepuk bangku kosong di sebelahnya.

"Men are mortals, anyway," opung-ku membuka pembicaraan. Jangan heran kalau kami berbincang dalam bahasa Inggris dan Indonesia macam anak Jaksel, memang begitu adanya sejak aku lahir. "Aku dikasih kesempatan lihat dia dari detik dia lahir hingga detik dia mati. Sebegitu saja, jatahnya."

Aku heran sekali melihat matanya yang kering dengan senyum di pelupuknya yang tua. Otakku yang korslet dalam menanggapi situasi semacam ini belum menyiapkan jawaban apa-apa, kemudian opung-ku kembali berkata, "kamu mau hokben?"

?????? sir?????

Sambil makan eggrolls, beliau bercerita bagaimana uda-ku adalah anak yang mandiri. Sejak SMA sudah merantau di Amerika, bukan di New York atau pusat kota lainnya, melainkan di desa kecil di Fairmont yang hanya berisi satu sekolah berasrama. Opung bercerita bahwa beliau percaya Tante Putri yang halus dan mungil akan kuat, cucu-cucunya akan mampu. Tuhan yang jaga, katanya.

Iman opung-ku memang bukan iman kaleng-kaleng.

Opung masih bercerita tentang pencapaian uda-ku, anaknya yang lahir prematur namun jenius. Matanya menatap hidup seperti lonjakan-lonjakan kesempatan, jalan-jalan di depannya adalah rencana. Tuhan memberinya tahun-tahun yang bahagia namun singkat, mungkin dia sudah memberi dan memperjuangkan hampir terlalu banyak? Sebelum mengakhiri pembicaraan, opung-ku lagi-lagi menunjukkan kualitas dirinya yang penuh kasih dan perhatian. "I have read one of your newest paper!" katanya bersemangat, banyak senyum menggantung di matanya, banyak bangga hinggap di suaranya. 

Baik Opung Pondok Indah maupun uda-ku, selalu percaya aku akan jadi penulis hebat. Laptop pertamaku, yang memfasilitasiku untuk memenangkan lomba nasional dan menulis puisi-puisiku, dibelikan oleh uda-ku. Selama bertahun-tahun, beliau meminta papa untuk merahasiakannya dariku, takut aku berterima kasih menjura-jura di hadapannya. Aku berpura-pura tidak tahu hingga beliau telanjur dipanggil Tuhan dan belum sempat mengucapkan terima kasih secara personal. 

Tulisan singkat mengenai bagaimana keluarga Tobing yang "sempurna" belajar menerima dan mengolah sedih kami dipersembahkan untuk uda-ku, istri dan anak-anaknya yang berpunggung batu, serta opung-ku dengan imannya yang luar biasa. Aku dan sanak keluarga yang lain tidak bisa melepaskan kalian dari gelembung sedih yang sunyi itu, tapi kami akan mengirimkan doa. Setiap hari, kami akan menyurat Tuhan tanpa henti, menuntut-Nya memberikan kekuatan tiada tara. 

Pelajaran kelima dalam mengolah sedih: yang ini aku yakin sekali, sedih tidak permanen.

Comments

  1. I really love this part :
    Sedih adalah pengalaman yang personal. Familiar untuk semuanya, tapi dirasakan dan ditanggung dengan cara yang berbeda-beda. Yang sama adalah sepinya, rasa putus asanya, sesaknya, tenggelamnya. Didesain Tuhan untuk dihadapi tanpa jalan pintas.

    Terimakasih ya, Medy..tulisannya indah sekali meski bikin mata ini sembab lagi..tapi it's ok.. ❤️

    ReplyDelete
  2. Very touchy medy... bener2 menyentuh hati... mengeluarkan semua rasa lewat coretan tangan sbg luapan hati... makasi Medy... keluarkan terus bakat alami mu yaaaa.... good ...

    ReplyDelete
  3. Wow. ... U are born to be a true pure hearted writer. Thank you for your sincere heart that you pour on your writing. Maju terus medy sayang... "uda" Tumpal will always fill our heart with his kindness acts. We feel the same pain..

    Hugsss.. Jbu dear ❤

    ReplyDelete
  4. Hi Medy, I love this! So much talent in you!!

    Thank you for sharing your view on how to handle sadness. It is an integral part of the intricate wheel that we called life. However, by acknowledging oneself’s sadness, is a prove that we are only human.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts