Adulting 404: Ternyata Moving Out Tidak Seindah Sitkom FRIENDS

Episode petunjuk adulting kali ini bukan adulting ala-ala kayak post sebelumnya, friend. Lebih nyata dari pengalaman kerja pertama, proses mengenali coping mechanism, maupun mengolah sedih.

Karena gue baru move out!

Kalau kalian pernah nonton sitkom Friends, kalian pasti akan familiar dengan Monica Geller si hostess yang clean freak, Rachel Greene si manja yang akhirnya mengalami character development, Phoebe Buffay si penyihir New Age yang kinky, Rose Geller si paleontologist Nerdy, Joey Tribbiani fakboy no thoughts heads empty, dan Chandler yang coping mechanism-nya humor sarkas nyelekit.

Benang merah cerita ini adalah sekumpulan young adult yang tinggal sendiri di New York City. Monica dan Rachel tinggal bareng di apartemen dua kamar yang luas, di seberang apartemen Chander dan Joey. Ross dan Phoebe dateng setiap hari. Mereka semua punya pekerjaan yang beda-beda, tajir, dan idupnya muluuuus banget. Nggak pusing bayar tagihan. Nggak hemat-hemat untuk belanja dan ngorder pizza. Nggak ada tuh adegan mati lampu empat kali sehari karena daya listrik apartemennya nggak bisa buat nyalain kompor dan kulkas sekaligus.

Nggak, kita nggak sehepi orang-orang ini
karena kita di Depok bukan di New York.

Anyway, kalo ada dari antara kalian yang kepo kenapa gue harus move out, jawabnnya adalah kerja proyek. Kerja proyek yang selanjutnya disebut KP ini adalah program magang wajib dari kampus, di mana kami mahasiswanya harus membuat laporan mengenai proyek yang diteliti setelah dua bulan magang di sana.

Nah, karena lokasi magang ini jauuuh dari rumah (nggak jauh-jauh amat sih, tapi nggak mudah diakses dengan transportasi umum dan gue cuma bisa mengendarai sepeda), plus dunia ini sedang pandemi, maka selama dua bulan gue harus KP, gue dan Nadya (temen sedepartemen, beda jurusan, Capricorn. Pernah muncul di sini) memutuskan untuk menyewa apartemen dan adulting di dalamnya.

Untuk KP-nya sendiri, bisa dibilang belum banyak yang terjadi, sih. Jadi saat ini, mari fokus kepada kegoblokan-kegoblokan yang terjadi selama HANYA seminggu gue tinggal sendiri (as in jauh dari ortu, ya sama Nadya sih).

Ternyata, banyak banget lho printilan-printilan yang sebelumnya udah ada atau udah ke-develop (misalnya barang-barang atau kebiasaan dalam memakai barang-barang) yang harus dipikirkan ketika lo tinggal jauh dari orang tua. Oh ya, sebelum kalian baca lebih lanjut, gue mau memberi disclaimer bahwa default gue dan Nadya adalah a) bala, dan b) ceroboh. Bisa dibayangin lah ya seberapa banyak hal yang harus dipelajari secara... sulit. 

Berhubung dunia ini lagi pandemi dan kita miskin, kita memutuskan untuk masak dan membawa bekel setiap hari. Dan meski skill memasak kita kalo dirata-rata nggaj buruk-buruk amat, ternyata banyaaak banget hal yang harus dipelajari dan dibiasakan. Gue akan list kebingungan-kebingunan gue dan jawaban yang gue temukan selama seminggu tinggal di sini menurut kategori. Let's go!

a. Belanja

Ini sebenernya obvious sih, tapi ternyata, untuk bisa memasak sendiri dengan proper dan sehat, yang dibutuhkan nggak sekadar beras, frozen food, dan sayur lho. Butuh juga banyak bumbu-bumbu (saus-sausan, kecap-kecapan, merica, garam, gula, dan rempah-rempah), yang sebelumnya adalah benda-benda yang memang ada di rumah aja, nggak perlu dibeli dari awal. Karena apartemen ini kosong melompong selain furnitur, kita harus belanja hal-hal kecil-tapi-penting ini juga.

Selain perbumbu-bumbuan, ada hal-hal lain yang harus dibeli dalam kategori makanan, seperti air (kita belum punya galon T___T), susu, yakult, dan lain-lain. Jadi hari pertama kita kerja yang sekaligus juga merupakan hari pertama kita tinggal di sini, kita harus BELANJA. Semua dengan metode ngira-ngira, karena belum bener-bener kepikiran perintilan apa aja yang perlu dan nggak perlu.

Kegiatan mengira-ngira dan mengambil keputusan ini capek banget lho, ditambah barang belanjaan yang banyak dan air 6 liter. Pas sampe di depan pintu apartemen, gue dan Nadya capeeeek banget sehingga kita hampir nangis pas kunci apartemennya nggak masuk-masuk ke lubang kunci.

dan begitu keran air mata dibuka dikit,
dunia ini air bah. hadeh.

b. Menggunakan kompor listrik.


 Gue super duper nggak ngerti kenapa desain elektrikal apartemen ini aneh. Jadi, seluruh stop kontak disusun secara seri, yang berarti mereka akan disuplai dan dialiri listrik dengan daya yang sama (plis koreksi gue kalo salah). Intinya, ternyata, kita nggak bisa menyalakan kompor listrik dan kulkas pada waktu yang sama, bahkan kalau sumber dayanya dari dua stop kontak sekaligus, karena semua stop kontak memiliki sumber yang sama gitu (understandable gak?).

Di malam pertama kita mencoba masak, kita nyolok kabel kulkas dan kabel kompor di sambungan kabel yang sama, yang waktu listriknya turun langsung MELETUP dan mengeluarkan percikan api. Sekarang doi sudah beristirahat dengan tenang di surga sambungan kabel. Rip.

btw, bentuk kompornya kayak gini.

Selain banyak tombol-tombol asing, kompor ini juga menunjukkan suhunya dalam satuan FAHRENHEIT, seperti orang-orang tidak beradab lainnya (sori, Amerika). Jadinya, untuk memastikan makanan bisa mateng dan nggak membunuh kita semua karena kebakaran, gue harus piawai dalam melakukan konversi suhu dari Fahrenheit ke Celcius, alias PR banget brok T___T

Setelah beberapa kali mempelajari cara kerja kompor ini, ditemukanlah jawaban bahwa kita harus menyalakan kompor dalam kondisi AC, heater, dan kulkas mati biar listrik nggak turun. Yang adalah PR banget brok (2) karena masa harus cabut-cabut kulkas tiap mau masak seh?!

Mengingat default gue dan Nadya yang pelupa dan tidak street smart, kita seriiing banget lupa nyolok balik kulkasnya, sampe susu, brownies, yakult, dll banyak yang jadi gak enak :( dan yang lebih fak lagi adalah, kita melakukan marinasi ayam dengan banyak saus, tapi ayamnya malah busuk karena kulkasnya lupa dicolok.

yaudah lah ya.

c. Alat-alat masak yang dibuat dengan tidak serius

Semakin lama tinggal di sini, semakin berterimakasihlah gue terhadap lulusan desain produk! Karena, benda-benda yang dibuat tanpa pengukuran dan analisis yang seris ternyata bener-bener bisa membuat masalah-masalah yang bisa dihindari terjadi. 

Misalnya ketel air gue, yang 1) kabelnya pendek, dan b) tutupnya sulit dibuka. Ini nyusahin banget karena gue jadi nggak bisa naro si katel di tengah meja dapur, melainkan minggiiiir banget. Sebagai orang ceroboh, gue selalu takut dia jatuh, pecah, dan air panasnya nyembur kemana-mana. Selain itu, tutupnya susaaaaah banget dibuka, jadi tiap mau manasin air, gue selalu salah urat dan terpaksa pake koyo. 

Produk lain adalah panci rebus air gue, yang bagian bawahnya nggak rata dan gagangnya lebih berat daripada pancinya sendiri. Jadi, keciali diisi air lebih dari setengah ketinggian panci, panci ini nggak akan seimbang dan bakal miring, jatuh karena gaganya keberatan. Yang paling parah, ketika dipanaskan, pemuaiannya membuat bagian bawahnya makin nggak rata, dan jadilah panci gue kesurupan.

panci kesurupan dalam format GIF.

Karena usaha memasak mi instan dengan panci ini malah berujung pada tindakan eksorsisme, jadilah kita harus beradaptasi dengan:

d. Eksperimen ricecooker mini

Menurut gue, ricecooker di apartemen ini layak mendapatkan nominasi dalam Guinness Book of World Records edisi benda-benda mini.

ukuran tangan gue sebagai skala

Dengan ricecooker semini itu, kita harus melakukan ietrasi (percobaan) berkali-kali. Kalau mau dua kali makan, berapa gelas beras? Biar nggak basi, kelembekan maksimal nasinya seberapa? Airnya harus diisi seberapa banyak biar bisa mencapai kelembekan yang ideal? Kalau dipanasin, harus gimana biar nggak kering? Semuanya harus dengan engineering sense yang nggak sedikit.

Selain untuk masak nasi, dalam beberapa kesempatan, kita juga masak mi instan, sayur, telur, dan goreng nugget/popcorn chicken di ricecooker mini ini ricecooker. SUsah nggak? SUsah dong, masak nasi aja butuh percobaan beberapa kali biar berhasil.

peribahasa tak ada rotan akar pun jadi dalam format kehidupan modern.

Selain menjadi pribadi yang bala dan ceroboh, hal lain yang perlu kalian tau dari gue dan Nadya adalah kita juga merupakan pribadi yang punyra rasa ingin tahu tinggi, pantang menyerah, dan LUAR BIASA HIGH MAINTENANCE. Dalam arti, kita punya standar yang tinggi untuk makanan apa yang kita konsumsi, kondisi apartemen yang kita tinggali, dan lain-lain. Kebalaan yang terjadi nggak membuat kita menjadi low maintenance, sehingga setiap kali sial atau bodoh, kita akan selalu analisis kesalahan yang terjadi dan berusaha membuat rencana strategis apa yang harus dilakukan agar ketika kita melakukan hal ini lagi, standar yang tinggi ini bisa tetep terpenuhi.

Contohnya dalam hal makanan. Karena kita menolak menjadi stereotype anak kos yang makan indomie dan telor tiap hari, berikut beberapa makanan edible (alhamdulillah), enak, dan sukur-sukur bernutrisi seimbang yang kita masak tiap hari!

chicken teriyaki dengan sayur yang gue lupa apa
(9/10)

dori dan bokchoy (8/10)

omelette plus jamur champignon!!! (7/10)

fettucine alfredo dengan dada ayam
dan jamur champignon (8.5/10)

Yes, semua makanan-makanan itu dimasak dengan kompor disfungsional, SATU buah pan antilengket yang diapakai ganti-gantian (kita menggunakan resep-resep one pan dari buzzfeed), spatula seadanya. Tanpa saringan, parutan keju, dan printilan-printilan yang mudah didapatkan di rumah tapi tidak ada di apartemen. Bangga gak kalian sama kita?😎

Anyway, saking balanya gue dan saking banyaknya hal yang harus dipelajari, gue memutuskan untuk membagi cerita adulting ini dalam dua post. Post selanjutnya akan diunggah nggak lama setelah ini, insyallah.



Comments

Popular Posts