Kita Jalan, Yuk?
"Pakai seatbelt-nya, Jemi." Soalnya perjalanan akan sulit. Berkelok-kelok, jalannya sempit.
"Kamu mau meluncur pakai apa?"
"Google Maps aja, soalnya Waze itu sesat."
"Soalnya kita bisa menipu orang dengan membeli 50 smartphone kemudian menyalakan Waze di mobil yang sama, ya. Nanti jalannya kayak macet."
Kita tertawa.
Tanganmu memegang setir, "tapi aku serius, aku nggak tahu jalan."
"Aku juga. Tapi kalau begini caranya, navigasinya harus ada pada kita, ya?"
"Iya. Soalnya sebagaimana Tuhan kita ada dua, di tanganmu ada Google Maps dan Waze, hahaha."
Aku meringis. Tanpa menoleh pun aku bisa merasakan kamu ikut meringis.
***
"Perempatan. Waze bilang kiri, Google Maps bilang kanan. Kalau pakai nalurimu, kita ke mana?"
"Hari ini naluriku bilang... lurus, sih. Hehe." Besok, apa? Besoknya lagi, ke mana?
Jalannya sempit, berkelok-kelok. Didera papa-mama bilang apa. Diganggu teman-teman bilang apa. Cari jalan sendiri, belum sanggup. Ikuti petunjuk, petunjuk punya siapa? Google Maps dan Waze ada di tangan, kamu pilih yang mana?
Pelan-pelan, jangan buru-buru. Kalau perjalanan ini berakhir, aku tidak tahu bisa memulai perjalanan baru atau tidak.
"Kayaknya, buntu?" kamu memelankan laju kendaraan. Mungkin memang seharusnya kita tidak terus jalan. Mungkin harusnya kita putar balik di perempatan tadi, kembali jadi teman. Atau aku turun dan melambai-lambai sama kamu yang belok kiri, lalu aku naik angkot ke arah kanan.
Kamu menepi dan mematikan mesin. "Suatu saat nanti, kalau kita sudah melewati jalan paling bergerajal dan gang tikus paling sempit, tapi masih buntu... gimana?"
"Realistisnya, sih, putar balik, ya." Kembali ke titik awal jadi teman. "Tapi aku nggak tau nanti cari partner jalan-jalan siapa lagi."
"Kita buat sendiri ajalah ya, jalannya. Kan udah ambil matkul Geometrik Jalan."
HAHAHAH. "Dan menembus rumah warga, ya, karena salah input data di OpenRoads?"
"Kalau setelah kamu menghitung alinyemen jawabannya menembus rumah warga, hutan kota, dan kantor gubernur, ya... nggak papa."
Dasar batu.
"Kita akan jalan terus, Jemi. Kalau cuma ada jalan tikus, ya terobos. Kalau banyak polisi tidur, ya lanjut. Kalau buntu, jalannya kita buat sendiri. Nanti kita hitung alinyemen dan jarak pandang pengendara, lalu kita ratakan tanahnya, tambal fondasi dangkalnya, cor sendiri jalannya."
Aku tertawa. Terima kasih, ya, atas semangat dan keras kepalanya. Saat ini kita mungkin serius mengamalkan ilmu transportasi, tapi nanti kalau proyek jalan kita digusur pemerintah (atau papa-mama, atau gereja), kita bisa apa?
"Kita bisa buat overpass. Atau underpass. Kayaknya overpass aja karena nggak pandai matkul tanah," kamu meraih tanganku. "Atau turun mobil dan naik kendaraan umum juga nggak apa-apa. Naik sepeda, kek, sekuter, kek, bahkan jalan kaki---terserah. Ya, ya? Asal jalan terus, sama kamu."
Dasar batu.
PPI in novel language
ReplyDeleteLebih ke PGJ sich
Delete