Hari Ini Aku Bertemu Malaikat (atau Bapak-Bapak buku Iqra)
Waktu kecil, aku melihat Tuhan seperti Santa Klaus.
Kalau banyak teman-teman Muslim yang mengira sosok Tuhan adalah pria di balik buku Iqra, sebagai anak yang rajin ke gereja dan menyukai hari Natal, menurutku Tuhan seperti Santa Klaus. Bapak-bapak paruh baya gempal dengan janggut tebal, rela terbang ke seluruh dunia pada malam Natal untuk memberikan apa yang dibutuhkan setiap anak (yang baik). Tuhan, sama seperti Santa Klaus, akan memperhatikan kelakukanmu sepanjang tahun. Tuhan, sama seperti Santa Klaus, memiliki sekumpulan asisten yang akan membantu pekerjaannya (malaikat untuk Tuhan, dan elf untuk Santa Klaus). Tuhan, sama seperti Santa Klaus, mendengarkan permintaan yang kamu kirimkan.
![]() |
Fyi, ini adalah si Bapak. |
Semakin tua dan semakin jauh dari mitos-mitos Hari Raya, aku tetap setuju bahwa Tuhan dan Santa Klaus memiliki satu dua kesamaan. Yaitu bahwa Tuhan mendengarkan permintaanmu, tapi memberikan apa yang kamu butuhkan.
Aku dan Tuhan punya permainan kecil di antara kami. Setiap kali aku merasa terlalu khawatir atau takut (yang bahkan kadang-kadang tidak kusadari---tahu-tahu aku susah tidur, ingin muntah, dan gatal-gatal), Tuhan akan mengirimkan sesuatu untuk mengingatkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan Beliau adalah sebaik-baiknya seksi acara yang mengatur rundown dan timeline kehidupanku.
Waktu aku umur 17, misalnya, aku ditunjuk (dengan sedikit nepotisme) untuk menjadi Ketua Pelaksana retreat Rohkris di Sekolah. Karena sekolahku penuh tragedi (ada seseorang yang meninggal karena tawuran atau apalah---tapi ini cerita lain), maka retreat dan semua kegiatan ekskul yang mewajibkan inap menginap ditiadakan selama beberapa tahun. Anehnya, atau untungnya, ketika angkatan kami yang memegang pimpinan, kami diperbolehkan untuk mengadakan retreat.
Ketidaksiapan kami semua membuat persiapan acara menjadi kalangkabut. Aku dan teman-teman Rohkris menghabiskan berbulan-bulan untuk menentukan konsep acara, tema dan pembicara, perizinan, dan yang paling susah: biaya. Di sekolah negeri, apalagi di sekolah tragedi ini, "meminta sumbangan" hukumnya mendekati haram. Kurang dari seminggu, acara ini masih defisit 40jt. Saat itu, aku bahkan nggak pusing, aku nggak sempet pusing dan kebingungan.
Acara yang statusnya gaswat ini dijadikan pokok doa dan rapat bersama guru dan alumni, Dibantu dan dibimbing beberapa alumni, salah seorang Abang alumni menasihatiku, "Kamu di sini adalah ketua. Fungsinya sebagai pilar utama. Kalau yang lain runtuh, kamu nggak boleh ikut retak," katanya. Untungnya saat itu aku belum menjadi sarjana teknik sipil, karena kalau nggak aku bisa pusing memikirkan gimana realisasinya.
Sebelum doa penutup, Abang tadi memberikan aku satu ayat. 1 Petrus 5 ayat 7.
"Serahkanlah kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu."
Pagi hari, ketika doa pagi, seperti biasa kami membaca renungan dari buku renungan anak SMA. Biasanya perikop renungan untuk satu hari terdiri dari beberapa ayat hingga satu pasal. Tapi khusus hari itu, ayatnya satu saja, 1 Petrus 5 ayat 7, lagi! Dua kali sehari. Aku sadar itu adalah cara Tuhan untuk memberi tahuku bahwa, well, jangan khawatir? Bahkan karena aku keras kepala, Tuhan sampai kirim ayatnya dua kali!
Sejak saat itu, ayat tersebut menjadi rahasia kecilku dengan Tuhan. Ketika aku luar biasa khawatir, bahkan nggak sadar aku lagi khawatir, ayat tersebut selalu muncul, tanpa aku cari secara khusus. Ayat itu muncul sebagai ayat renungan di pagi mengumuman SBMPTN, bahkan muncul dalam bentuk meme ketika aku khawatir mengenai bidding sebuah kepanitiaan di kuliah. Tanpa aku cari, tanpa aku ingat-ingat, Tuhan selalu siap sedia untuk mengirimkan ayat tersebut.
Belakangan ini, aku sedang khawatir luar biasa dengan hidupku prakuliah. Setelah kontrakku selesai di perusahaan konsultan manajemen akhir tahun kemarin, aku menjadi epitome dari frasa pengacara: pengangguran banyak acara.
Aku khawatir karena nggak kunjung dapet kerja (lagi). Tapi, aku juga khawatir aku akan stres dan panik tiap membuka WhatsApp seperti di perusahaan kemarin, kalau bekerja di tempat yag kurang sesuai. Misalnya kemarin sempat lolos berbagai tahap dan hampir diterima suatu pekerjaan pun, aku khawatir pekerjaan itu nggak cocok dengan apa yang ingin aku ambil untuk S2. Aku khawatir juga keterima kerja di tempat yang salah dan membuatku berkontemplasi seperti ini lagi.
Aku mau S2 di luar negeri. Aku belum tahu pasti apa jurusannya, tapi yang pasti menggunakan beasiswa. Dah. Hanya itu yang aku tahu.
Aku nggak yakin apakah aku mau mengambil jurusan yang mirip dengan gelar sarjanaku sebelumnya, atau jurusan yang lebih cepet bikin kaya (seperti MBA, misalnya), dan memikirkan ini membuat aku pusing setengah mati. Aku juga harus punya pengalaman kerja dan tujuan yang bersesuaian dengan jurusan ini, supaya ada yang mau menginvestasikan uangnya untuk personal growth-ku. Siapa dan bagaimananya, aku juga nggak tahu.
Gonjang-ganjing kehidupan terakhir datang dari pacarku yang tiba-tiba dipindahtugaskan untuk bekerja di... tebak di mana? Morotai! Sebelumnya aku nggak pernah memikirkan tempat ini, mendengar namanya pun jarang. Fyi, Morotai adalah sebuah pulau kecil di Maluku Utara. Untuk pergi ke sana, pesawatmu harus transit di Makassar dan Ternate, lalu kamu bisa naik pesawat kecil dari Ternate.
Aku punya pengalaman buruk soal LDR, padahal nggak beda propinsi, bagaimana ini? Gimana kalau perbedaan zona waktu (yang sebenarnya hanya dua jam sih), membuat kami tidak pernah ngobrol lalu dia lupa soal aku? Gimana kalau pacarku ketemu gadis pantai yang cantik lalu mereka pacaran sambil memancing di dermaga? Gimana kalau dia hilang di pulau terpencil lalu kehilangan kemampuan bicara? Gimana kalau aku kangen? Gimana kalau aku ternyata masih aku di tahun 2019, yang nggak paham bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang dari jauh, lalu aku kehilangan satu dari sedikit orang yang mau selalu berusaha untuk mengerti aku?
Anehnya, di tengah ketakutan yang betubi-tubi ini, 1 Petrus 5 ayat 7 tidak kunjung datang. Tidak dalam bentuk ayat di khotbah Minggu pagi, tidak dalam bentuk ayat yang diunggah oleh akun instagram warungsatekamu, dann aku nggak pernah melihat ayat itu secara nggak sengaja lagi.
Padahal saking lamanya, aku sudah melalui berbagai fase Jemi Anxious Era. Mulai dari melamar semua pekerjaan yang muncul di laman LinkedIn-ku (kemudian panik ketika dijawab lowongan yang nggak kuinginkan), kemudian ogah melamar pekerjaan apapun dan cuma berbaring di kasur, sampai fase energy-spike "aku nggak bisa begini terus!" dan mendaftar 3 kegiatan volunteer berbeda dan memikirkan kemungkinan jadi influencer.
Tapi aku cukup yakin hari ini aku bertemu malaikat.
Aku da pacarku punya kebiasaan untuk berfoto di photobox setiap awal bulan. Siang ini, karena dia WFA, kami pergi ke photobox tersebut. Pulang dari sana, ketika sedang bercanda-canda di jalan menuju tempat parkir, ada seorang bapak-bapak menghampiri kami.
"Kalian bahagia sekali," katanya sumringah. Kami berhenti berjalan. "Kalian hepi sekali dengan satu sama lain, bikin saya nostalgia saya dan istri saya zaman muda dulu."
Awww, lucunya. Kami cengengesan saja.
"Kalian orang sini?" tanyanya. Kami mengiyakan. "Kerja atau kuliah?"
Pertanyaan ini nggak bisa kujawab, jadi pacarku yang jawab. "Kerja Pak, hehe."
"Ooooh wah, kerja. Semoga sukses terus ya kerjanya, sehat-sehat," sahut Bapak ini. Kukira perbincangan kami selesai di situ. "Kalian berdua bahagia sekali, jangan sampe putus ya. Saya doakan dari sini, saya percaya kalian langgeng."
Eh? Aku yang lagi khawatir mengenai kami, mengenai bagaimana kami akan bertahan kalau pacarku dipindahtugaskan ke tempat terpencil, jadi agak kaget. Baik sekali, ada orang asing yang mendoakan kebahagiaan kami, semoga kami selalu sama-sama.
"Saya abis nyamperin anak saya. Lagi ambil pendidikan dokter spesialis di UI Salemba," katanya. Kami menyahuti bagaimana kami kagum dengan anaknya. Bagi pacarku, ini mungkin juga terasa personal, karena dia pernah menginginkan ini dulu. "Kalau kakaknya, juga hebat dia. Baru lulus S2, LPDP di Amerika. Kalian kuliah di mana?"
"UI, Pak," jawab kami.
"Kalian sekolah lagi juga ya, beasiswa kalau bisa. Bisalah, LPDP gitu ke luar negeri, nggak ternilai itu harga pengalamannya," katanya. "Saya percaya kok kalian bisa. Beneran."
Air mataku merebak ketika aku berusaha menjawab Bapak ini. "Betul, Pak. Saya juga mau banget. Makasih banyak ya, Pak."
"Saya kemarin dikasih kesempatan untuk ke sana pas dia wisuda. Bagus sekali, bermilyar-milyar ditanggung pemerintah. Semoga kalian juga, ya." Kami menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan doa yang serupa.
Perbincangan singkat berisi banyak doa-doa dan harapan, dan kepercayaan, yang berlangsung dari depan pintu ke tempat parkir membuatku ingin duduk di tanah dan menangis saat itu juga. Ketika Bapak kami mau berpisah jalan, sekali lagi Bapak ini mengatakan, "kalian senang sekali berdua, saya lucu sendiri liatnya. Jangan sampai putus ya, saya doakan langgeng selamanya!"
Menilik kembali seberapa personalnya semua ucapan yang diberikan Bapak tadi membuat aku yakin beliau adalah malaikat. Beliau mengajak kami bicara hanya karena kami tampak bahagia, seperti dunia milik berdua! Orang asing yang nggak tahu apa-apa, kenal pun tidak, bisa menyampaikan kesan-kesan dan harapan yang tepat sasaran. Bagaimana dia yakin kami bisa sukses, apapun maknanya. Bagaimana beliau dengan tulus berharap kami berkesempatan untuk mendapatkan LPDP seperti anaknya. Bagaimana kebersamaan kami membuat dia senang, dan dia yakin kami mampu bertahan selamanya.
Bapak-bapak tadi Bapak-bapak 50 tahunan biasa. Kalau kami nggak bertegur sapa, mungkin kami nggak akan sadar dia ada. Kecuali fakta kalau dia memang sedikit mirip Bapak-bapak di buku Iqra, hahahaha. Tapi keramahannya, doanya, harapannya, kepercayaannya pada dua anak muda yang tidak dia kenal membuatku yakin bahwa ini adalah yang aku butuhkan. Semua yang menjadi ketakutanku, dibahas tuntas, satu demi satu. Diyakinkan, dikuatkan, oleh orang yang mungkin tidak akan pernah aku jumpai lagi di kemudian hari.
Kali ini, Tuhan mungkin berpendapatan aku membutuhkan lebih dari sekadar ayat. Dia memberikan apa yang kubutuhkan dengan intensitas yang lebih ekstrem: mengutus malaikat! Mungkin kalau kami menoleh lagi ketika keluar dari portal, kami nggak akan bisa menemukannya lagi. Poof, hilang begitu saja karena beliau harus kembali ke kahyangan.
Waw, aku terharu banget bacanya. Padahal ceritanya menurutku biasa aja karna udah sering denger pengalaman yang sama. Tapi cara pengemasannya sangat luar biasa, sukses selalu :)
ReplyDelete