GMT Plus Sembilan

Aku sudah pernah melalui LDR sebelumnya.

Nggak jauh kok. Klise, Depok-Bandung, ala-ala anak-anak univ Top 3 yang ambis dan optimis.

Hasilnya? Kacau balau and I’m left with less sanity than before, and I didn’t have enough of it in the first place.

Mungkin level kewarasan yang mengalami penurunan inilah yang membuatku cukup gila untuk mengambil risiko untuk menjalani LDR lagi (tentunya sama orang yang berbeda karena aku kan hanya agak-agak gila, bukan masokis). Kali ini Jakarta-Morotai. Gila, saking asingnya nama tempat itu, aku sampe membuat kuis “hayo, kamu tau gak Morotai di manaa?” pada teman-teman yang cukup berempati untuk penasaran pacarku pindah ke mana.

Morotai adalah sebuah pulau yang terletak di Timur Laut Pulau Halmahera, masuk ke Provinsi Maluku Utara. Untuk pergi ke sana dari Jakarta, kamu perlu transit di Makassar atau Manado, kemudian naik pesawat kecil ke Ternate, hingga ke Morotai. Penerbangannya jarang-jarang dan mahal harganya.

Dulu ketika putus karena gagal LDR Jakarta-Bandung, aku pernah bersumpah seumur hidup nggak akan mau LDR lagi (ataupun pacaran sama cowok Libra pejuang academic validation berinisial J). Ternyata, nggak cuma aku mendadak punya pacar cowok Libra pejuang academic validation berinisial J LAGI, aku bahkan harus LDR lagi.

Sebetulnya bukan hal yang membuat kami kaget-kaget amat, karena toh cukup masuk akal untuk ditempatkan di proyek-proyek luar Jakarta kalau kamu adalah pegawai MT BUMN Karya. Jadi, pembicaraan ini sudah berlangsung tiga ribu kali, mulai dari masa PDKT ketika aku memberi ultimatum nggak akan mau punya pacar beda kota, hingga pembahasan tentang peraturan LDR yang disertai dengan deg-degan tiap perubahan 10 minggu sekali.

Tapi mau seberapa sering pun aku membahas ini (lalu kami bertangis-tangisan di Gancy), ketika masanya tiba juga, kamu nggak akan merasa siap.

Di BUMN Karya tempat pacarku bekerja, ada beberapa divisi besar. Ada building (tentunya kamu akan ditempatkan di kota), Infra 1 (pembangunan jalan tol, jadi kalau kamu nggak hoki, kamu bisa terlibat dalam proyek Trans-Papua), Infra 2 (pembangunan bendungan, biasanya juga bukan di pusat kota), dan Infra 3 (umumnya di daerah 3T). Pacarku yang sebelumnya beruntung ditempatkan di divisi Building dan bertugas di Jakarta ketika on-the-job training tiba-tiba ditempatkan di Infra 3, yang hampir 100% proyeknya ada di luar Jawa.

Ketika aku tahu bahwa dia ditempatkan di Infra 3 (dan kemudian mendapatkan kabar bahwa lokasi proyeknya ada di MALUKU UTARA), rasanya kosong sekali. Hatiku melompat-lompat bergantian dalam 5 fase kesedihan. Denial (“nggak kok, itu salah kaliii~” padahal suratnya sudah terbit), anger (doa malam sambil marah-marah ke Tuhan), bargaining (“kamu nggak bisa mohon-mohon ke HR-mu agar nggak jadi dipindah? aku yang ngomong deeh, pliiiis…”), depression (membuat tracker menangis karena menangis tiap hari), dan acceptance (yaudahlah ya).

Kemudian, kami jadi menjadwalkan lebih banyak waktu untuk bertemu. Setiap pulang kerja main ke rumah satu sama lain. Berpelukan. Menginap bersama teman-teman lain agar bisa menghabiskan waktu bergadang bersama-sama. Menjalankan rencana-rencana yang sudah menganggur berbulan-bulan di notes hp: pergi berenang dan masak. Berpelukan lagi. Membayangkan dan membahas “peraturan” LDR setiap kali merasa perlu, nangis-nangis, kemudian berpelukan. Menghabiskan waktu lebih lama bergandengan tangan. Memeluk lebih lama ketika diantar pulang sampai depan gerbang. Pelukan. Pelukan. Pelukan!

Ketika melakukan hal-hal ini, biasanya aku terjebak dalam 2 situasi berbeda.

Yang pertama. Seratus persen lupa bahwa kami melakukan hal yang asyik-asyil (seperti pergi ke waterpark) sebetulnya adalah bentuk kompensasi akan berpisah sebentar lagi, lalu menghabiskan hari dengan bahagiaaaa sekali. Entah tidak sengaja lupa atau merupakan mekanisme pertahanan paling cemen sedunia: denial dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Hal yang harus dibayar adalah ketika sudah di jalan pulang, dan realita kembali membayang, sedihnya datang dengan kecepatam ekstrem, meninggalkanmu berhamburan seperti habis dilindas truk beroda enam.

Atau yang kedua, menjadi hyper-aware tentang bagaimana waktu berjalan. H-14! H-13! H-12—shit! Tiba-tiba H-5 karena relativitas itu bangsat.

Kemudian menyadari bahwa beberapa rutinitas akan menjadi kali terakhir dilakukan: kali terakhir makan froyo, kali terakhir masak di rumah, kali terakhir diantar pulang hingga ke depan gerbang. Ketika hal ini terjadi, rasanya kamu seperti tawar menawar dengan takdir. “Yang tadi jangan jadi pelukan terakhir ya? Mau lagi!” lalu memeluk sekali lagi. Kemudian menolak bahwa pelukan barusan bisa jadi pelukan terakhir, jadi “jangan! Ayo peluk lagi!”

Begitu terus, diulang dua ratu kali sampai capek sendiri.

Keadaan hyper-aware ini hobi membuat tiba-tiba mellow, karena suka ada pikiran nakal yang mengganggu berkata, “hayo, seminggu dari sekarang kamu nggak ada yang antar jemput loh!”. Terus menangis tersedu-sedi setiap mau tidur, bangun tidur, lagi mandi, dan semua kegiatan manusiawi lainnya.

Keadaan ini juga berpotensi membuat aku jadi rada filosofis. Apa ya jadinya kalau kita bisa memperlakukan kematian seperti ini? Berlaku sebaik-baiknya seakan-akan ini saat terakhir kita. Tapi to be fair, kalau ini hari terakhirku di dunia, aku sih nggak akan berusaha menjadi pegawai terbaik atau apa, aku mau senang-senang saja. Eh, kenapa jadi mikirin ini, bukannya tadi lagi sedih?

Semua persiapan, semua “jurus” untuk menikmati wakti sebaik-baiknya sudah dilakukan. Tapi ketika aku membeli barang-barang untuk hadiah perpisahan, toh tangisku pecah lagi. Ketika aku menulis surat-surat kecil untuk dibaca selama perjalanan, toh sedihnya mampir lagi.

Kondisi rentan ini membuat kami juga lebih peka terhadap hal-hal yang biasa kami dapatkan sehari-hari. Karena lagi menye, semua rasanya beda, jadi ada maknanya.

Tiba-tiba merasa disayaaaang sekali sama teman-teman yang peduli (padahal mungkin mereka memang selalu peduli, aku aja yang selama ini nggak sadar). Misalnya, teman-teman pacarku meluangkan waktu mereka untuk pergi perpisahan di tengah jadwal yang padat. Kemudian, setelah sibuk bertanya-tanya soal Morotai, setiap temannya meluangkan waktu untuk bertanya kepadaku secara pribadi. Mereka nggak cuma peduli pada pacarku, si main character yang akan pindah, tapi juga kepadaku.

“Gimana rasanya Jem?”
“Saat ini, rasanya apa?”
“Terus, kamu udah siap? Sekarang rasanya gimana?”
“Gimana, udah nangis berapa kali? Hahahaha.”

Ada juga kasih sayang dan penerimaan yang aku terima dari keluarga pacarku. Kakak perempuan pacarku melibatkan aku dalam hadiah perpisahannya, sebuah gantungan kunci berisi foto-foto dia sekeluarga DAN foto-fotoku. Kemudian, dia meluangkan waktunya untuk memikirkan hadiah yang sesuai untuk aku, bantal custom dengan muka pacarku, dilengkapi dengan surat yang membuat aku SEDIH banget. Di bandara, dia juga banyak mendokumentasikan kami, momen-momen terakhir bergandengan tangan di bandara.

Lucunya, Kakak ini nggak nangis sama sekali mengantar adiknya merantau, tapi justru nangis melihat aku berkaca-kaca mengawasi kepergian pacarku hingga hilang dari balik gate. Kami berpelukan dan untuk pertama kalinya aku merasakan rasanya punya kakak perempuan.

Kemudian cipika-cipiki dengan mamanya disertai undangan untuk tetap main ke rumah untuk ketemu Opung dan Coco (anjing). Aku sudah membayangkan pulang bersama Tante ini dari bandara, mungkin diam, mungkin membicarakan pacarku.

Mendadak ada perubahan rencana. Aku nggak jadi pulang diantar mereka, tapi ikut pulang dengan Bastian dan Gina. Nggak disangka-sangka, Papanya yang tsundere abis menjabat Bastian dan Gina, “titip ya.” Seakan-akan aku anaknya. Duarrrr.

Seluruh rangkaian supermenye ini membuat aku nggak berhenti-henti menangis, entah karena sedih banget maupun bersyukur banget. Nggak banyak orang yang berkesempatan untuk merasakan emosi seberlapis-lapis ini, sekuat ini, serumit ini. Ada banyak sekali yang sayang sama kami, keluarga dan teman-teman yang rooting for us seperti bapak-bapak Malaikat di kisah /ini/.

Rasanya begitu kaya, begitu hidup. Seperti bisa berjalan kaki setelah mati rasa agak lama. Seperti baru lahir kembali menjadi manusia.

Tapi ternyata, nggak seburuk kelihatannya. Tahu-tahu sudah hampir 2 bulan saat terakhir kali aku memeluknya di Bandara. Tanggal 1 April. Tepat setahun yang lalu, pembicaraan lucu ini terjadi di parkiran Sudirman Park, tempat park and ride cadangan kami kalau ingin pergi ke UI naik kereta.

"Gue merasa... kita lebih seperti Nadya-Reza (teman kami yang pacaran), daripada gue dan Khansa (dia dan salah satu temen ceweknya)."
"Jadi?"
"Y-ya... hahahaha."
"Jadiiii?"
"Jadiin aja... gimana?"
"Ya.... boleh." lalu kami bro-fist karena saat itu masih sama-sama cringe sendiri dengan ide kami pacaran.

Tahun ini, 1 April dirayakan lewat telepon. Jam 7 malam di sini (dan jam 9 di sana), tiba-tiba kakaknya nyamper ke rumah. Bareng pacarnya (Abang). Bawa hadiah.

Aku kaget luar biasa. Nggak begitu kaget karena kreativitasnya (hehe), tapi karena bagaimana kakaknya mau went extra-miles untuk membuat aku senang (tapi to be fair, aku memang tidak tahu bagaimana siblings dynamic sebenarnya. Mungkin ini wajar?)

Aku, dengan tangan yang memegang ponsel yang terhubung di video call, menerima tas kertas bath and body works yang dibawa kakaknya. Ada kotak merah dengan post-it merah muda bertuliskan "You are so lucky Jem!"

I am indeed lucky.

Amit-amit (ketuk jidat dan meja tiga kali) aku akan menyesali pernah mengatakan ini, tapi aku memang beruntung.

Pacarku mengubah LDR jadi mudah. Tentu saja bukan hal paling mudah sedunia, karena toh ada malam-malam aku dan dia ngambek (bergantian) karena perbedaan jadwal dan rutinitas. Tapi semuanya normal, wajar, dan... sehat. Nggak membuat aku sakit kepala setiap aku ingat dia. Nggak membuat aku menangis setiap malam, meraung-raung karena marah-tapi nggak enak untuk marah-tapi kan aku boleh marah!-tapi lalu takut dibilang tidak pengertian. Membuat aku senang, produktif, dan fungsional.

Aku menyambut setiap pagi dengan ucapan selamat pagi, dan tidur diiringi ucapan selamat tidur. Kabar tidak pernah terputus, dan aku tahu bagaimana dia mengusahakan banyak waktu luangnya yang sedikit itu untukku. Kirim-kirim foto kegiatan yang itu-itu saja. Telepon yang dilakukan di balkon yang dinyamukin, di pinggir jalan sebelum ke gereja, di dermaga di sela-sela bekerja.

Terima kasih, terima kasih.

Aku memang nggak minta banyak, tapi kalau aku lagi minta banyak pun, kamu mewajarkan. Love should be easy, katanya, and indeed you make it so easy. I am so lucky, memparafrase kakaknya, and indeed I am.

Semoga kita akan menjalani petualangan selanjutnya bersama-sama ya (dan kalau bisa, dalam zona waktu yang sama).


Comments

  1. Cerita yg mungkin common (apalagi bagi saya yg kebetulan ada di bidang yg sama), tapi pembawaannya seperti membaca puisi romantis

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts