Surat untuk Mata Rantai, atau Tiang Pegangan Transjakarta, atau Meja Datar (yang, Rasa-rasanya, Takkan Pernah Kukirim)
Halo, Mata Rantai (atau Tiang Pegangan Transjakarta, atau Meja Datar).
Rasanya baru seminggu yang lalu aku kembali menemukanmu dalam serpihan-serpihan perabot rumahku yang dimakan rayap. Aku mengingatmu, tentu saja, dan itu bukan hal yang istimewa. Tapi tahun-tahun terbang secepat kedipan mata, dan BAM! tahu-tahu, itu bukan beberapa hari. Itu beberapa tahun.
Lalu, saat Mahaguru bersabda kita jadilah, jadilah. Kita tidak perlu mengulang berkenalan---aku sudah tahu namamu sebelum kamu memperkenalkan diri di depan seluruh pendopo. Aku menemukan memoriku. Aku belum tahu, apakah aku juga menjadi penghubung antara kamu dan kenangan. Tidak masalah, pikirku waktu itu. Kita punya banyak waktu.
Kita, waktu i t u, punya banyak waktu.
Aku akan selalu ada, dan kamu juga. Kita akan selalu menjadi Mata Rantai (atau Tiang Pegangan Transjakarta, atau Meja Datar) bagi satu sama lain. Kalau ada guncangan, atau kesalahan teknis pada roda gigi hidupku yang perlu diminyaki ini, aku hanya perlu melihatmu, mengetahui kamu ada sebagai pengingat antara aku dan kehidupanku yang serbaberes dulu. Waktu segala keping masih pada tempatnya. Dan bereslah. Aku tahu, seperti menyelesaikan rubik, semua akan kembali teratur.
Kupikir akan terus begitu.
Kupikir, nanti, saat roda gigi ini macet dan lagi-lagi perlu diminyaki di masa yang akan datang, kamu selalu ada. Kamu selalu menjadi pegangan yang membantuku tetap berdiri, Mata Rantai yang membantu aku dan masa laluku tetap terhubung, meja datar yang tenang yang membantu kepingan puzzle pikiranku tetap pada tempatnya.
Tapi bahkan Mata Rantai memisahkan aku dan rantaiku yang berharga, Tiang Pegangan Transjakarta goyah sehingga aku terjerembab ketika kendaraan keparat ini mengerem mendadak, dan Meja Datarku berguncang tertabrak adik sepupuku yang sedang belajar merangkak.
Rasanya baru seminggu yang lalu aku kembali menemukanmu dalam serpihan-serpihan perabot rumahku yang dimakan rayap. Aku mengingatmu, tentu saja, dan itu bukan hal yang istimewa. Tapi tahun-tahun terbang secepat kedipan mata, dan BAM! tahu-tahu, itu bukan beberapa hari. Itu beberapa tahun.
Lalu, saat Mahaguru bersabda kita jadilah, jadilah. Kita tidak perlu mengulang berkenalan---aku sudah tahu namamu sebelum kamu memperkenalkan diri di depan seluruh pendopo. Aku menemukan memoriku. Aku belum tahu, apakah aku juga menjadi penghubung antara kamu dan kenangan. Tidak masalah, pikirku waktu itu. Kita punya banyak waktu.
Kita, waktu i t u, punya banyak waktu.
Aku akan selalu ada, dan kamu juga. Kita akan selalu menjadi Mata Rantai (atau Tiang Pegangan Transjakarta, atau Meja Datar) bagi satu sama lain. Kalau ada guncangan, atau kesalahan teknis pada roda gigi hidupku yang perlu diminyaki ini, aku hanya perlu melihatmu, mengetahui kamu ada sebagai pengingat antara aku dan kehidupanku yang serbaberes dulu. Waktu segala keping masih pada tempatnya. Dan bereslah. Aku tahu, seperti menyelesaikan rubik, semua akan kembali teratur.
Kupikir akan terus begitu.
Kupikir, nanti, saat roda gigi ini macet dan lagi-lagi perlu diminyaki di masa yang akan datang, kamu selalu ada. Kamu selalu menjadi pegangan yang membantuku tetap berdiri, Mata Rantai yang membantu aku dan masa laluku tetap terhubung, meja datar yang tenang yang membantu kepingan puzzle pikiranku tetap pada tempatnya.
Tapi bahkan Mata Rantai memisahkan aku dan rantaiku yang berharga, Tiang Pegangan Transjakarta goyah sehingga aku terjerembab ketika kendaraan keparat ini mengerem mendadak, dan Meja Datarku berguncang tertabrak adik sepupuku yang sedang belajar merangkak.
Comments
Post a Comment