Boleh Jadi Aku, Tapi Jangan Biarkan Ideku

Teralis di jendelanya bukan jeruji,
Tapi toh mudah baginya untuk merasa terpenjarakan oleh budaya patriarki
Bukan perkara pingitnya,
Bukan masalah ranjang yang keras menyangga punggungnya,
Tapi surat ini soal idenya. Perihal pikirnya.

Kartini, nama wanita itu, tidak terlalu suka dipingit, memang
Bukan masalah nasinya yang hambar,
atau soal sepi yang mengalun merasuk-rasuk saat siang dan malam konstan berganti
Tapi ia keberatan, kalau edukasi harus berhenti di sini.
Tidak rela melihatnya, rasa ingin tahu kaum wanita harus kalah oleh, lagi-lagi: misogini

Asasi bukan milik mereka, ya dan maaf menjadi kawannya
Mereka tidak boleh berkuda, berkata tidak, atau menyampaikan pendapatnya
Dihargai dan dibeli bagai budak, sekadar trofi untuk memamerkan kekayaan pria
Tidak, putus Kartini di balik jendela yang mengurungnya, takkan dibiarkannya
Mau sampai kapan wanita tiada berbeda dengan makhluk kelas dua?

Ia tidak tahu amanah apa yang dipilihkan Yang Kuasa baginya
Mendadak rasa peduli datang,
bersinar ia, terang dalam gelap temaram malam
—terbit,
dan dipinangkanlah ilham dan prihatinnya, masuk ke kepalanya, singgah di hatinya
Berkembang menjadi gagasan.

Sehingga, dengan segala keterbatasannya antara pingitan mereka yang adidaya
Diselundupkannya sehelai kertas, pena dan botol tinta,
dan dilayangkannyalah korespondensi dengan mereka yang dianggapnya peduli
carik-carik berisi kesetaraan edukasi dan hak asasi
Karena sepanjang malam yang kelam, selalu ada harap akan datangnya pagi

Sesungguhnya, Kartini tidak keberatan soal pingitannya
Karena masalahnya bukan nasi hambar alakadarnya
pun ranjang yang keras luar biasa
Kurung dia, boleh kau pingit sepuasnya—
Terserah, asal jangan kurung pemikirannya.

Comments

Popular Posts