Akhirnya Waktu yang Tepat untuk Menulis: Katanya Sih, Resolusi

Mari kita kembali pada rutinitas tahunan contemplating-my-whole-life setiap awal Januari!

Tapi kali ini agak beda. Gue mau... bikin resolusi.

HAHAAHA NGGA KOK IT'S NOT LIKE WHAT
YOU THINK! Bukan tipe resolusi wOrKoUt tIaP pAGi
dan mEmbACa SatU bUkU sEHarI. Jangan berhenti bacaaa!

Btw, sebelum-sebelumnya, gue nggak pernah bikin resolusi.

Not that I see life as a whole nonsense as we are only creature living in a big floating rock in an endless sky kind of way. Lebih ke, ah, I know myself and I'm not going to do it anyway.

Gue kenal diri gue sendiri dan inkonsistensinya untuk tahu gue nggak akan bisa keep up sama janji yang gue buat ke diri gue sendiri. Sesimpel itu, kok. Jadi, daripada gue memulai sesuatu yang nggak akan gue selesaikan, I'd rather not making it at all! Such a genius I am! :D

Tapi... tahun ini beda. 

Mungkin karena gue memasuki dekade baru: yang lebih serius, yang akan sangat naik turun, yang akan sangat mendewasakan. Jangka panjangnya, di dekade ini kemungkinan besar akan terjadi pernikahan. HAH banget gak sih???? Mungkin akan ada orang yang gue belum kenal sama sekali #scary. Mungkin sama orang yang selama ini udah gue tahu (eh ini fucked up banget??? Siapa anjay???). Mungkin gue akan punya anak di dekade ini, mungkin malah anaknya masuk playgroup. Pokoknya, perubaan terbesar bakal terjadi di dekade ini!

Jangka menengahnya, gue akan lulus kuliah dan kerja. Serem banget nggak, sih? In two years or more, gue dituntut untuk capable menghidupi diri gue sendiri, sukur-sukur sekeluarga besar. 50% kehendak Tuhan dan 50% usaha gue yang akan menentukan apakah gue jadi budak korporat yang desek-desekan di stasiun setiap pagi-pagi buta demi sesuap nasi dan seonggok berlian, atau yang akan brunch salad lobster jam 10 siang di Plaza Senayan dengan teman-teman sejoli, membicarakan pembangunan dan kenaikan saham (sangat Ika Natassa-ish i lost myself).

Jangka pendeknya, gue akan... ya... kuliah???? Gue punya target yang agak-agak luar biasa (kalau nggak bisa dibilang mustahil) tahun 2020. Gue... mencalonkan diri jadi Project Officer CENS UI, semacam National Summit-nya Teknik Sipil UI. Acaranya... sebesar itu. ITU, dengan italic, bold dan underline. Intinya, di dalamnya akan ada diskusi antara profesional (yep, kalau beruntung keynote speakernya akan Bapak Basuki) dan mahasiswa, membicarakan isu-isu terkini---entah solusi dari masalah yang selama ini ada, inovasi baru, atau malah esakalasi isu yang masyarakat selama ini kurang aware. Acara ini, misal gue jadi PO-nya atau tema gue dipake, juga bisa menentukan apakah gue dan budak-budak korporat lainnya harus berdesak-desakan di rush hour. Semoga nggak harus, ya, semoga output berupa transportasi yang terintegrasi bisa mempermudah hidup kita 5-10 tahun ke depan.

Kan? Bahkan target janga pendek gue akan menentukan nasib kita semua di commuter line Jabodetabek hingga puluhan tahun lagi.

Segala sesuatu seserius itu ya ampun.

Tapi, bisa juga gue tergerak untuk buat resolusi karena tahun 2019 FAK BANGET CAUR BECANDA BANGET HAHHHHH GILA LO SEMUA?!?!??! Parah. Tahun itu PARAH BANGET, gila, dan nggak cuma gue doang tapi semua orang juga merasa 2019 fak banget! I know life is a roller coaster ride, tapi bahagia-sebahagia-bahagianya-makhluk di sepertiga tahun, lalu disusul dengan depresi-dan-anxiety-separah-parahnya-makhluk di sepertiga tahun kedua, lalu disusul dengan sibuk-sesibuk-sibuknya-makhluk dengan segala jenis kehectican dan keputusan besar di sepertiga terakhir (yang Puji Tuhan-nya diiringi dengan penemuan diri). Di tahun yang sama gue suporteran like there is no tomorrow, lalu bolak balik pergi ke terapis, kemudian tiba-tiba ngestate. HAH BANGET KAN.

Intinya, 2019 penuh ke-chaos-an internal, 
dan 2020 akan penuh ke-chaos-an skala nasional. Bangsat.

Itu sebabnya, sebagaimana 2020 bergulir, gue ingin melatih diri gue untuk:

  1. Lebih gentle ke diri sendiri.
    Tahun-tahun ke depan akan luar biasa fak, dan kalau bukan diri kita sendiri yang bikin hidup lebih nyaman dan acceptable, siapa lagi, nggak sih? Nggak perlu lah, gue memaksa diri gue untuk merasa A kalau yang dirasa sebenarnya adalah B. Nggak perlu bilang "iya" kalau sebenarnya yang ingin diutarakan adalah "tidak".
    Termasuk di dalamnya: not being the biggest judge to myself. Kalau gagal, gak papa, kita coba lagi besok. Kalau capek, gak papa, istirahat sebentar, kita coba lagi.
  2. Lebih sehat!
    Gue sadar betul kalo kita... makin tua. Pun dunia makin gila: makin kotor, belum lagi musim-musim akan jadi anomali semua. Gue juga sadar jadi mahasiswi teknik sipil yang sehat aja berat, apalagi yang harus bolak balik Klinik Makara? Dan tentu saja, semua target-target nggak ada gunanya kalau gue mati muda, benar?
    Karena jam istirahat memang harus seminimal mungkin, hal pertama yang harus ditingkatkan tentunya intensitas minum air putih dan jam makan yang teratur. TOLONG YA @ diriku stop minum Fruitea Stroberi dan makan siomay jam 3 sore sebagai sarapan!!1!!
      
  3. Lebih bisa mindful, mensyukuri hal-hal sederhana dan merasa cukup.
    Selama ini, gue seriiiing banget mikirin apa yang di depan---khawatir. Atau mikirin yang udah lewat---thinking how I would kill just to go back to the past. ATAU JUSTRU berimajinasi tentang apa yang mungkin terjadi sekarang, tapi well, nggak terjadi, seperti kalau gue di ITB gimana ya? Kalau gue jadinya ambil psikologi gimana ya?
    Udah waktunya gue lebih sadar sama apa yang terjadi sekarang, berkat yang Tuhan titipkan sekarang, sebelum dalam jangka waktu beberapa tahun gue cuma bisa "ah, I would kill just to go back to my fourth term!". Udah waktunya gue melihat tempat duduk di kereta, atau kucing yang minta gendong, atau berhasil ngerjain satu soal mekanika tanah sebagai highlight of my day.
    (Tapi tanpa menjadi mindful pun, berhasil mengerjakan SATU soal mekanika tanah adalah mukjizat, sejujurnya).
  4. Lebih berguna bagi masyarakat luas. Literally.
    Lewat hal sebesar CENS atau Kersos. Lewat apa yang gue pelajari dan hitung sampai meninggal di kelas. Lewat apa yang gue tulis dan siarkan. Memanfaatkan status gue sebagai anak UI yang entah kenapa dianggap lebih kredibel, suaranya lebih besar.
    Lewat hal sesederhana ngasih makan kucing. Ngasih tip ke bang Gojek. Pelayanan di gereja. Ngasih tempat duduk di bikun. Beli tisu dari anak-anak di lampu merah. Sesederhana apa yang bisa kita lakukan sebagai manusia. Saja. Tanpa prasyarat. Tanpa target.
  5. Lebih percaya dan berserah pada Tuhan.
    Last but not least, menyadari penuh bahwa kita nih, apa sih? Debu semesta yang awal dan mulanya ada di tangan Yang Punya.
    Gue memulai semester 3 dengan perasaan seperti ini. Dan segala hal jauh lebih mudah karena ada rasa aman, ada rasa bahwa apapun yang kita lakukan, bahkan ketika kita jatuh, ada di tangan Dia semuanya.
    And if it all falls apart, it falls apart in His hand. Selalu, dan selamanya begitu.
Seperti prinsip merawat kulit, kita benerin dulu skin barrier-nya, baru nambah dengan perawatan-perawatan yang lebih expert. Kalau skin barrier-nya udah bener, mau coba-coba perawatan aneh-aneh, mau cocok dan nggak cocok, kemungkinan breakout-nya lebih sedikit. Karena kulitnya kuat dan siap.

Mungkin, dengan memperkuat diri sendiri dulu melalui the gentlest way possible, gue jadi akan lebih siap untuk future mistakes and accomplishments. Kalau gue udah menerima diri gue sendiri dan segala kemungkinan-kemungkinan, mungkin kegagalan nggak akan jadi sesakit itu. Mungkin juga, kalau dari dalam sudah stabil dan cukup, akan siap untuk mencoba hal-hal baru atau self-care yang lebih tersier, kayak mengembangkan skill baru, bangun startup, you get what I say.

Begitu deh, semoga istiqomah ya, mentemen semua. Kalau berguna ya mangga diterapkan. Kalau punya ide langkah-langkah memperkuat diri sendiri menghadapi dekade yang fak, boleh chat atau komen di bawah.

Ciao!

Comments

Popular Posts