Bukan Waktu yang Tepat Untuk Menulis: Tapi Lagi Mau Kesaksian

Hehe. Haiii.

*melambaikan tangan dengan penuh energi* *nggak sengaja nyenggol
gelas* *air tumpah* *mau ngambil keset* *kepeleset dan kejedot meja*
*barang-barang jatoh* *kertas jatuh di atas tumpahan air dan jadi basah*
Wow, such a specific description for that one gif's caption, ya.

Anyway, for the first time in forever... nggak juga, sih, tapi akhirnya gue menulis lagi di segmen ini tanpa rasa ingin meninggal atau apa. Tapi karena... pengen aja. Pengen berbagi. Pengen jadi berkat, dan kopi gue masih nyisa efeknya, gue belom bisa tidur ehehe.

Dalam hubungan gue dengan Tuhan, ada suatu hal spesial yang setiap kali ia datang, gue selalu tahu itu asalnya dari Beliau-Yang-Di-Atas-Sana. Meskipun gue sangat sering struggling denger suara Tuha, hal spesial ini bisa dibilang satu-satunya momen di mana gue selalu, selalu, yakin, bahwa Tuhan bener-bener butuh ngomong sesuatu.

Bagi kalian yang kenal gue (btw, btw banget ni, ini viewers blog banyak amat, kalian internet friends apa temen di dunia nyata, sih?!), kalian akan tahu kalo gue very prone to anxiety. I really need for everything to be under my control (or at least under a control of people that I truly believe, which is very few). Lagu-lagu rohani favorit gue, yang selalu berbunyi telinga gue adalah lagu tentang berserah. Kesaksian-kesaksian gue umumnya tentang berserah. And, so on.

Dalam proses pencalonan diri menjadi PO CENS (baca di sini tentang apa itu CENS serta ambisi-ambisi gue mengenai hal ini), tentunya banyak banget hal yang nggak berjalan sesuai ekspektasi. I love my team, of course, but I can't deny kalau dalam beberapa momen gue amat sangat greget dan butuh mereka berpikir seperti gue. Atau ngerti apa yang gue mau utarakan. Atau mengerjakan segala sesuatu dengan standar gue. Yang adalah hal yang sangat SALAH karena selain mereka manusia bebas yang punya pikiran sendiri, tentunya dinamika dan jumlah variasi cara berpikir yang banyak sangat memengaruhi.

Minggu lalu, di minggu terakhir pengumpulan logbook, gue udah kepingin gila (nggak deng, lebay). Temen-temen gue bekerja dengan baik, sumpah, tapi ada masanya gue greget mereka nggak langsung minta tanda tangan senior (kita punya buku yang disebut logbook, yang isinya insight dari senior dan alumni tentang CENS yang akan kita jalani. Dan insight itu harus ditandatangi orang yang bersangkutan, punya jumlah minimal pengumpulan, dll).

Atau harus diingetin buat bawa print out ketika dibutuhkan. Atau sesimpel harus nyuruh mereka ngechat si Kakak untuk minta tanda tangannya. Atau ngisi google drive. Setiap hari minggu gue jadi sebel karena, halo, masa harus diingetin seeh??

Belum lagi, semester 4 starts to kick in. Minggu ini gue punya kuis Hidrolika, ujian 1 Mekanika Solid, pengumpulan tugas besar Mekanika Solid, kuis Metode Numerik,  tugas responsi Metode Numerik, gambar denah dan potongannya untuk Konstruksi Bangunan, dll. Itu semua sembari harus (mengerti dan) mengisi project charter, ngobrol sama senior dan alumni, kembali nge-breakdown tema, dateng ke profesional, dan lain-lain.

Itu urusan gue pribadi.

Sementara perkara kerjasama tim, gue harus... membuat empat manusia lain mengerti cara mengisi logbook. Yang berarti, menyuruh (dan mungkin juga harus membantu meng-arrange) janji ketemuan sama senior yang tepat, yang sesuai koridor kerja masing-masing.

Dan gue... lumayan khawatir nggak akan punya cukup waktu menyelesaikan itu semua.

Gue kira gue cuma "lumayan khawatir", tapi ternyata kekhawatiran ini udah semacam... luntur dari otak? Dan menyerap ke bagian dari tubuh? Alias gue bahkan nggak sadar gue khawatir, tapi lalu gue demam, asma, sakit kepala, dan yang paling fundamental adalah asam lambung naik drastis.

Karena ke-stress-an CENS ini, gue udah lama banget ngga ke gereja dengan... fokus. Kayak, karena tugasnya dikumpul hari Minggu jam 12 siang, setiap jam 9 gue udah deg-degan nggak karuan.

Termasuk hari Minggu kemarin, tanggal 23 Februari. Gue sakit kepala luar biasa (karena malem sebelumnya nge-tracing denah Pusgiwa dengan lampu superterang), mules, dan nggak kepengen nyanyi apalagi denegrin khotbah HKBP yang bosennya ampun-ampunan. Gue cuma sempet menyerap kalimat pertama khotbahnya. Pokoknya tentang jangan takut dan semacamnya, tapi nggak dikemas dengan baik, jadi gue mager dengerin kelanjutannya.

Jadinya, di tengah khotbah, gue keluar untuk pupup (hueee jijik gak).

Gue keluar lumayan lama, btw. Gue bosen di dalem dan lampu gereja terlalu terang. Gue duduk di depan, jadi malu kalo tidur.

Waktu akhirnya gue masuk lagi ke ruang ibadah, si Pendeta sedang mengatakan closing statement-nya. Gue lupa persisnya gimana, tapi kira-kira begini, "1 Petrus 5 ayat 7: Serahkanlah kekuatiranmu kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kamu."

BLAR.

Gue langsung tau itu pesan Tuhan untuk gue. Udah berminggu-minggu gue nggak "cari" Tuhan, yet He keeps seeking for me. Trying to communicate with me. And, of course, He found the best way to catch my attention. Ayat itu.

Ayat ini bukan jimat, tentunya, hanay suatu cara istimewa yang gue yakini tentang Beliau-Yang-Di-Atas-Sana. Semacam inside jokes (tapi dalam kasus ini nggak lucu), dan yang paham letak punchline-nya ya cuma gue dan Dia. Semacam emergency line gue dan Tuhan.

Sebelumnya, ayat ini muncul di momen gue khawatir-banget-sampe-nggak-merasa-khawatir.

Waktu retreat, ketika gue hari-H tinggal seminggu dan gue defisit 40 juta. Kemudian, ada semacam "sesi" konsultasi sama alumni rohkris (dont get this wrong, alumni di sini sangat asyik-asyik, masih muda-muda, dan sukses luar biasa). Di akhir sesi, gue dikasih ayat ini. 1 Petrus 5:7. Kemudian besoknya, doa pagi. Biasanya, ayat di buku renungan berupa perikop dengan banyak ayat, nggak sih? Tapi pagi itu, ayatnya cuma 1. 1 Petrus 5:7 ini.

Dan right after doa pagi, kekumpul uang 14 juta. Pada akhir hari, uang yang terkumpul sejumlah 60 juta.

BINGUNG GAKSIII??

Wow, Tuhan kasih gue sign sampe harus DUA kali, bro, untuk ngasih tau kalo gue nggak usah khawatir sama sekali. Serahin aja. Semuanya. And by semuanya, I mean semuanya. Nggak usah lo sok-sok menyerahkan hal-hal ke tangan-Nya lalu ngintip-ngintip isi tangan Tuhan, kalo udah kasih mah kasih ajaaa. Tuhan datang di waktu yang tepat, dan Beliau mencukupkan. Gila banget.

Dan sejak saat itu, gue selalu punya little thing, suatu hal yang secara khusus mendekatkan gue dengan Dia, melalui ayat ini. Ayat ini kayak emergency line, yang kalau sampai datang tanpa dicari (kadang gue nyari ayat untuk kekhawatiran, no shit lah ya kalo ayat ini muncul), berarti situasi gawat darurat siaga satu ini udah di-take over sama Tuhan.

Dan kemarin, ayatnya muncul lagi. Kali ini nggak perlu dua kali, gue udah ngerti kalau Dia mau gue berhenti khawatir.

So be it. I'll be okay whatever happens!

Comments

Popular Posts