Jatuh Cinta atau Bangun Cinta: Berbicara Denganmu Membuatku Menyadari Sesuatu
Berbicara denganmu membuatku menyadari sesuatu.
Hari ini hujan. Bukan jenis hujan yang akan membuatmu masah kuyup kedinginan, namun berupa rintik halus yang membuat langit lebih melankolis dari biasanya. Dua departemen paling tua di kampus ini mungkin marah perihal pertandingan yang ditunda, namun aku merasa bukan masalah yang besar, selama aku bisa melihat kamu.
Kita duduk di tempat yang agak berbeda, meski masih menatap panorama yang sama. Seseorang merokok, jadi dekanat mematikan lampu di dalam, tapi lelampu di luar masih cukup terang untuk berkelip dan memantulkan sinarnya di matamu.
Kita berdialog mengenai sepi. Kamu memulainya.
"Aku nggak bisa sendirian," katamu, seperti kala itu. Masih sama sebagaimana kamu yang aku kenal. "Aku butuh orang yang ada di hari-hariku. Menetap di antara malam dan pagi. Mampir kala siang menyambut petang. Agar hidup ada warnanya. Agar hari ada isinya."
Aku tercengang. Aku pernah berada di tahap itu, begitu terbiasa dengan sesosok manusia yang kukira akan ada selamanya.
Tapi ketika dia pergi, aku belajar berdiri di kakiku lagi. Berkawan dengan suara dalam kepalaku lagi. Menjadikan bahagia ada di tanganku sepenuhnya, menjadikan Tuhan tempat berceritaku sepuasnya.
Lalu kebutuhanku akan sesama manusia tidak sebesar dulu. Dan dengan segenap kesibukan yang membuatku terseok-seok bertahan, aku... tidak berkeinginan untuk mengubah itu sekarang.
"Kamu harus belajar bertumbuh sendirian," tegasku. "Orang-orang pergi dan kamu akan siap untuk bangun cinta lagi, tapi di sela-selanya, kalau kamu tidak nyaman dengan kepalamu, tangan dan tungkaimu sendiri, kamu tidak bisa bertahan."
"Aku... nggak bisa," aku menelaah ke dalam matamu selama kamuberbicara. Menyadari betapa aku lebih suka kita tertawa, aku lebih suka kita bercanda dan saling mengelus kepala. Bukan pembicaraan seserius ini. "Aku nggak kayak kamu, Jem. Aku ingin, sungguh, tapi hidup tanpa teman khusus... sepi sekali."
Berbincang dengan kamu membuat aku sadar sesuatu.
Aku tidak ingin bersama seseorang yang tidak utuh.
Bukan berarti aku merasa aku lebih baik dari kamu. Aku masih melihatmu sebagai pribadi positif yang dewasa. Aku masih melihat hatimu memesona dan matamu sebagai mahakarya. Namun, menyelami kamu lebih jauh, semakin membuatku sadar rumitnya kamu, berlapisnya kamu sebagai manusia.
Sesuatu yang kukira akan aku suka.
Lahir sebagai anak tunggal, aku terbiasa sendirian. Aku berkawan akrab dengan sunyi. Sepi menjadi temanku, menjadikanku utuh, menjadikanku tidak memerlukan pribadi lain untuk bisa bertumbuh. Tentunya tidak semerta-merta demikian. Aku melalui satu dua benturan dan guncangan, tentang rasa, tentang emosi, dan dengan cara itulah Tuhan membentukku sedemikian.
Namun aku yang sekarang... aku butuh teman. Hanya itu. Sedikit dukungan, lalu jatuh cinta di sana dan sini, memenuhi karakteristik manusia-sebagai-makhluk-sosial yang kubutuhkan jika masih harus dianggap normal. Cukup. Biarlah aku selesaikan segala tetek bengek organisasi ini. Biarlah aku terantuk, terpukul, terguncang sana-sini---tapi bukan memercayakan bahagiaku di tangan orang yang bahkan tidak tahu cara membahagiakan dirinya sendiri.
Aku siap untuk jatuh cinta, tapi bukan dengan seseorang yang terus menerus merasa butuh.
Berbicara denganmu membuatku menyadari sesuatu.
Aku suka kamu, sungguh. Jatuh cinta, malahan. Aku masih bisa menulis ribuan surat betapa aku suka tulisanmu, suaramu, caramu bernyanyi dan tertawa.
Tapi aku tidak bisa bangun cinta dengan orang yang tidak utuh.
Dan kamu masih belajar cara untuk tidak menjadi separuh.
Hari ini hujan. Bukan jenis hujan yang akan membuatmu masah kuyup kedinginan, namun berupa rintik halus yang membuat langit lebih melankolis dari biasanya. Dua departemen paling tua di kampus ini mungkin marah perihal pertandingan yang ditunda, namun aku merasa bukan masalah yang besar, selama aku bisa melihat kamu.
Kita duduk di tempat yang agak berbeda, meski masih menatap panorama yang sama. Seseorang merokok, jadi dekanat mematikan lampu di dalam, tapi lelampu di luar masih cukup terang untuk berkelip dan memantulkan sinarnya di matamu.
Kita berdialog mengenai sepi. Kamu memulainya.
"Aku nggak bisa sendirian," katamu, seperti kala itu. Masih sama sebagaimana kamu yang aku kenal. "Aku butuh orang yang ada di hari-hariku. Menetap di antara malam dan pagi. Mampir kala siang menyambut petang. Agar hidup ada warnanya. Agar hari ada isinya."
Aku tercengang. Aku pernah berada di tahap itu, begitu terbiasa dengan sesosok manusia yang kukira akan ada selamanya.
Tapi ketika dia pergi, aku belajar berdiri di kakiku lagi. Berkawan dengan suara dalam kepalaku lagi. Menjadikan bahagia ada di tanganku sepenuhnya, menjadikan Tuhan tempat berceritaku sepuasnya.
Lalu kebutuhanku akan sesama manusia tidak sebesar dulu. Dan dengan segenap kesibukan yang membuatku terseok-seok bertahan, aku... tidak berkeinginan untuk mengubah itu sekarang.
"Kamu harus belajar bertumbuh sendirian," tegasku. "Orang-orang pergi dan kamu akan siap untuk bangun cinta lagi, tapi di sela-selanya, kalau kamu tidak nyaman dengan kepalamu, tangan dan tungkaimu sendiri, kamu tidak bisa bertahan."
"Aku... nggak bisa," aku menelaah ke dalam matamu selama kamuberbicara. Menyadari betapa aku lebih suka kita tertawa, aku lebih suka kita bercanda dan saling mengelus kepala. Bukan pembicaraan seserius ini. "Aku nggak kayak kamu, Jem. Aku ingin, sungguh, tapi hidup tanpa teman khusus... sepi sekali."
Berbincang dengan kamu membuat aku sadar sesuatu.
Aku tidak ingin bersama seseorang yang tidak utuh.
Bukan berarti aku merasa aku lebih baik dari kamu. Aku masih melihatmu sebagai pribadi positif yang dewasa. Aku masih melihat hatimu memesona dan matamu sebagai mahakarya. Namun, menyelami kamu lebih jauh, semakin membuatku sadar rumitnya kamu, berlapisnya kamu sebagai manusia.
Sesuatu yang kukira akan aku suka.
Lahir sebagai anak tunggal, aku terbiasa sendirian. Aku berkawan akrab dengan sunyi. Sepi menjadi temanku, menjadikanku utuh, menjadikanku tidak memerlukan pribadi lain untuk bisa bertumbuh. Tentunya tidak semerta-merta demikian. Aku melalui satu dua benturan dan guncangan, tentang rasa, tentang emosi, dan dengan cara itulah Tuhan membentukku sedemikian.
Namun aku yang sekarang... aku butuh teman. Hanya itu. Sedikit dukungan, lalu jatuh cinta di sana dan sini, memenuhi karakteristik manusia-sebagai-makhluk-sosial yang kubutuhkan jika masih harus dianggap normal. Cukup. Biarlah aku selesaikan segala tetek bengek organisasi ini. Biarlah aku terantuk, terpukul, terguncang sana-sini---tapi bukan memercayakan bahagiaku di tangan orang yang bahkan tidak tahu cara membahagiakan dirinya sendiri.
Aku siap untuk jatuh cinta, tapi bukan dengan seseorang yang terus menerus merasa butuh.
Berbicara denganmu membuatku menyadari sesuatu.
Aku suka kamu, sungguh. Jatuh cinta, malahan. Aku masih bisa menulis ribuan surat betapa aku suka tulisanmu, suaramu, caramu bernyanyi dan tertawa.
Tapi aku tidak bisa bangun cinta dengan orang yang tidak utuh.
Dan kamu masih belajar cara untuk tidak menjadi separuh.
respeect
ReplyDeletebangkeeee bisa2nya lu komen di sini
Delete