Surga Hari Ini: bagian III
Pagi ini, lekas setelah bangun, aku tergopoh-gopoh mendatangi pintu surga. Bukan suatu hal yang biasa kulakukan, tapi kali ini terlalu berat, terlalu mustahil untuk ditanggung, terlalu---
"Halo?" seorang (seekor? sesosok?) malaikat memanggilku dari balik meja setelah gerbang surga terbuka, kedelapan matanya menatapku lekat ingin tahu. Resepsionis surga, kurasa. Aku bertanya-tanya bagaimana sayapnya yang lebar muat masuk ke balik meja itu (terlihat agak sempit) tapi yah, ini kan surga.
"Um, hai." Aku melangkah ragu. Marmer surga yang mengilap terasa dingin di kakiku. "Aku punya beberapa... um, harapan untuk Natal."
Dengan kecepatan mengagumkan, malaikat lain muncul dari bawah meja. Sepertinya dia sedang mengecat kuku kaki atau apa karena sekarang dia mengibas-ngibaskan jemarinya (yang omong-omong dicat hitam). "Agak... terlalu cepat, eh?"
"Well, ya... sih," aku menggoyang-goyangkan kakiku, gestur gugup. "Tapi, uh, seperti yang kamu tahu, tahun ini agak berat... jadi aku---"
"Vaksin?" kata malaikat resepsionis yang lebih normal---meskipun matanya ada delapan dan sayapnya terlihat tidak proporsional, setidaknya bibirnya tidak berlipstik ungu tua dan jari-jari kakinya tidak dicat hitam. "Maaf, Sayang, tapi kamu orang ke---uh, tiga miliar empat ratus tujuh puluh enam juta, empat ratus---"
"Eh, ya. Maksudku tidak. Bukan, aku bukan mau minta vaksin ke sini. Maksudku, y-ya... kalau boleh, tapi---"
"Oke," malaikat yang lebih normal ini memunculkan kertas panjang di tangannya. "Berarti kamu adalah orang ketiga milyar empat ratus---"
"Pekerjaan? Orang yang dikasihi sembuh?" potong malaikat emo.
"B-bukan..." racauku gugup. Aduh, aku memang jarang berdoa, tapi biasanya surga tidak se... inklusif ini, dengan malaikat bermata delapan dan memakai lipstik ungu di belakang meja resepsionis. Aku jadi gugup, tapi good for them, though. "Uh, aku cuma mau... negaraku... lebih... berfungsi seperti negara?"
"Oh, dear," potong kedua malaikat itu bersamaan dengan nada kasihan. Well, aku biasanya tidak suka dikasihani, tapi sebagai warna negara ini, sepertinya pantas-pantas saja aku dikasihani dua malaikat aneh di resepsionis surga.
"Oke, siapa namamu?" malaikat bermata delapan tiba-tiba menggenggam buku lain. Buku kehidupan?
"Um, Jemi. D-dari... Indonesia."
"Oh," kedelapan matanya bergerak dengan kecepatan ekstrem, mencari Jemi dari Indonesia. Sepertinya itu lebih ke buku alamat, atau database kehidupan duniawi, alih-alih buku pencatat dosa atau apa. Entah. "Seperti apa ejaannya? J-A-M-I-E kah, atau J-E-M-I-E atau---"
"J-E-M-I. Dan kalau membantu, aku tinggal di Jakarta," jawabku sabar.
"Ada sekitar... dua ratus enam puluh tiga J-E-M-I dari Jakarta, Indonesia, tapi tiga perempatnya laki-laki. Kamu yakin namamu betulan J-E-M-I?"
"Ya! Maksudku... ya. Tentu. Kenapa kalian tidak menggunakan komputer?" cetusku. "Bukannya aku bermaksud mengatur cara kerja kalian, bagaimana pun ini kan surga, tapi maksudku... bahkan dengan delapan mata, ini agak..."
"Di sini tidak ada listrik, duh?" malaikat emo memandangku seakan-akan aku baru saya menanyakan pertanyaan yang umum.
***
Setelah birokrasi yang agak berbelit-belit (lama sekali hingga aku mengizinkan malaikat emo mengepang rambutku), kami bertiga duduk-duduk di pinggir laguna surga. Tugas menjaga resepsionis digantikan oleh dua malaikat lain yang... uh, sebaiknya tidak usah kujelaskan anehnya. Si malaikat bermata delapan (ternyata namanya Haniel, dan enam matanya bisa dilepas saat dia tidak sedang bertugas mencari data) mendengarkan curhatku dengan wajah prihatin.
Dari sisi yang lain, malaikat emo yang ternyata bernama Azriel memandangku murka, "jadi, Juliari Batubara bangsat, laknat, bajingan, bau ketek---"
"Bagaimana kalau Tuhan mendengarmu?" potongku waswas.
"Tuhan akan setuju," Azriel memutar mata, tapi lalu memelankan suaranya. "Juliari Batubara ini MENTERI yang seharusnya um... mengayomi rakyat, malah mencuri dana bantuan sosial?"
"Ya."
"Dari sekian juta rakyat yang sedang di ambang hidup dan mati?"
"Ya."
"Dengan kondisi negara yang carut marut, kasus Covid yang tidak kunjung turun?"
"Ya."
"Dan kalian harus menghadapi Omnibus Law, kasus pernikahan anak Habib Rizieq, konstruksi di Pulau Komodo, hutan-hutan yang habis dibakar?"
"Ya. Ya untuk itu semua."
"Dan mereka bahkan tidak mau mengesahkan RUU PKS karena pembahasannya terlalu sulit?"
Aku mengangguk. Haniel dan Azriel memandangku dengan raut campuran kasihan dan ngeri hingga Azriel membuka mulutnya, "Aku tahu kita nggak boleh mempertanyakan kewenangan Tuhan, tapi aku betul-betul heran kenapa negara ini belum bubar. Iblis pun akan kagum pada petinggi-petinggi di negaramu, sungguh."
"Yah, sangat masuk akal kalau kamu meminta negara yang lebih fungsional sebagai hadiah Natal," kata Haniel pelan. "Aku tidak tahu apakah kami berdua bisa melakukan sesuatu lebih lanjut mengenai ini, karena... yah, kadang-kadang Tuhan punya rencananya sendiri untuk membiarkan itu terjadi, tapi.... apakah kamu punya rencana? Selain penjara, yah, karena hukum pun tidak berlaku dengan baik di negaramu..."
"Aku ingin mereka semua menyesal," kataku muram. "Mereka tidak harus dipenjara, karena yah, sistem hukumnya pun kacau balau begitu. Aku juga tidak ngotot minta vaksin, karena dalam proses masuknya pun pasti akan banyak dana yang dikorupsi. Aku hanya ingin mereka menyesal."
"Untuk... semuanya?"
"Ya, terlebih Juliari Batubara sih, tapi secara umum mereka semua," jawabku lelah. "Aku hanya ingin mereka menyesal bisa-bisa mencuri dana bantuan untuk rakyat yang hidup sehari lagi saja belum tentu. Aku ingin mereka menyesal telah membuat kerumunan seramai itu di tengah pandemi dan hanya perlu membayar lima puluh juta. Aku ingin mereka menyesal membakar hutan demi cuan yang tidak sebanding dengan nyawa manusia. Aku ingin mereka menyesal melihat perempuan-perempuan yang diperkosa hanya karena belum kunjung sah undang-undang yang menaunginya."
Aku meratap melanjutkan, "aku ingin mereka merasakan betapa putus asanya kami, manusia di luar sistem, mengenai apa yang terjadi di atas. Begitu rumit, begitu berbelit-belit, dan semuanya sama. Tidak tersentuh dan seberapa lantang pun kami berteriak, tidak ada telinga yang sanggup menampung bahkan meski mereka di atas sana dibayar khusus untuk mendengar."
"Kalian paham, kan?" Mereka tampak takjub melihatku, tapi aku tetap melanjutkan. "Maksudku bukan menyesal semacam... oh Tuhan oh tidak aku mencuri dana bansos 17 miliar, bukan! Aku mau pikiran itu bertengger di otaknya selamanya, sebagai suara di telinga setiap saat, sebagai bayangan di pelupuk mata. Aku ingin mereka ingat betul apa yang mereka lakukan dan dikejar oleh fakta-fakta itu di mimpi dan kenyataan. Aku ingin mereka melihat dampaknya, hidup-hidup yang mereka hancurkan dan kesempatan-kesempatan yang mereka rebut. Aku ingin mereka tidak bisa memaafkan diri mereka sendiri seumur hidup."
Haniel memandangku dengan prihatin, "Kamu... hanya ingin mereka menjadi manusia, ya? Merasa seperti manusia, berpikir seperti manusia, bertindak dengan... akal sehat dan hati nurani?"
Aku tertegun. Betul kata dua malaikat aneh ini, negaraku dipimpin sekumpulan iblis.
Comments
Post a Comment