Adulting 404: First Time?

Ini akan menjadi episode (episode?) yang paripurna, karena pada saatnya lo semua akan mengalami ini (kecuali lo tajir banget atau udah meninggal sebelum usia produktif). Atau mungkin... udah? 

Ini tentang cerita tentang pengalaman kerja pertama!

Bagi yang mungkin baru di blog ini, gue adalah mahasiswi Teknik Sipil angkatan 2018, berarti saat ini lagi otw semester 6. Semester 5 kemaren gue bener-bener babak belur didera kuliah, organisasi, dan lomba, libur semester 6 rasanya gabuuut banget (dan gue rentan d*presi kalo gabut).

Tiba-tiba, Nadya, temen sedepartemen gue tapi dari jurusan Teknik Lingkungan, membawa tawaran kerja. Sehari-dua hari setelah gue berpikir untuk cari internship. Nadya kirim screenshot chat-nya dengan Abam (temen kuliah gue juga), tentang suatu tawaran kerjaan berdurasi 21 hari, dibayar sekian juta.

ini my last 3 brain cells yang bahagia,
langsung bilang "iya!!" gak pake mikir.

 
Berhubung gue a) miskin, b) gabut, c) mulai khawatir soal pengalaman kerja untuk pascakampus, dan d) butuh validasi, gue langsung mengiyakan... tanpa tau jobdesk-nya apa. Kalo gue sampe dikirim jadi TKW pun, gue nggak akan tahu.

Kemudian, gue, Nadya, dan beberapa teman lain ikut zoom meeting mengenai kerjaan tersebut. Awalnya gue masih paham kayak "o-oke... kerjaannya jadi auditor... hhm... ada training 21 hari... iya gajinya sekian juta... oke, transport makan ditanggung..." lalu si bapak pemimpin meeting tersebut mulai babbling soal... jobdesk. 

HAHA baru ngomongin jobdesk doang otak gue udah kelayapan. Paham sih, karena calon-calon pekerja lain anak FEB UI, yang seenggaknya masih berhubungan erat dengan duit-duitan. Sementara gue, fun fact aja nih, gue bahkan nggak tau kata "audit" artinya apa (sampai saat itu).

Yang jadi masalah, tentu saja, adalah tempatnya. Meskipun dunia ini pandemi dan katanya Indonesia bakal baru selesai pandemi setelah 10 tahun, pekerjaan ini diharuskan full work from office. Saat itu gue kureng paham kenapa, kayak... kan gue punya Excel di rumah??? (meskipun bukan Microsoft Excel karena laptop w agak pemilih). Jumlah pekerjanya buanyak, hampir 200 orang, mahasiswa dari perguruan tinggi di Jakarta, kebanyakan. Dua ratus orang ini dibagi jadi dua lokasi, Juanda dan Cikini.

Awalnya, gue mengira kita akan disediakan bilik masing-masing, dengan meja kayu berkomputer dan kursi empuk yang bisa diputer-puter, kayak... pada umumnya kantor (atau at least, itu yang gue tau karena nyokap gue adalah ibu-ibu kantoran). Kemudian gue ditunjukkin ruangannya melalui zoom meeting tersebut.

Ternyata... nggak.

ekspektasi gue langsung reversed-stonks.


Tempatnya adalah hall raksasa berkarpet yang ber-AC, di mana akan ada bangku-tempat-les (tau kan, kursi lipat yang ada mejanya tersambung, terus mejanya kecil banget sampe semua barang lo berjatuhan tiap 30 detik sekali?) diletakkan dengan jarak 2 meter. 

Karena kita bekerja selama 8 jam sehari, kita berada di situ selama 9 jam (ada waktu istirahat tiap jam 12). Kemudian, karena kita kerja selama 21 hari, kita berada di situ selama 4 minggu (karena hari Sabtu Minggu tidak dihitung dong, Saudara!). Berarti kira-kira, bakal ada seratus orang dalam hall yang sama, selama sembilan jam setiap hari, selama 21 hari.

seriously? in this economy?

Akhirnya, karena alasan kesehatan tersebut Nadya dan beberapa teman lain mundur. Gue akhirnya mengajak beberapa temen yang lebih butuh duit dan lebih gak takut mati dibanding mereka. Total, anak jurusan gue ada 7 orang, termasuk Abam (oh iya, Abam itu anak yang punya proyekan ini, gais, jadi level dia naik dan dia jadi supervisor). Sebelum masuk kerja hari pertama, para auditor ini diminta membawa surat keterangan negatif covid dari tes rapid antigen. Oke, understandable.

H-1 sebelum masuk kerja, gue... mules. Kayak mules excited gitu macam anak sekolah mau berangkat kemping. Kayaknya, karena gue ada di rumah terlalu lama dan besok hari pertama gue akan ketemu 100 orang setelah hampir setahun di rumah aja. Kemungkinan yang lebih besar lagi, I miss doing a thing for the first time. Dulu, pertama kali mau masuk SMP, gue susah tidur karena mellow ninggalin SD (padahal gue SD dan SMP di sekolah yang sama💀). Hari pertama masuk SMA lebih mules lagi, karena gue pindah dari sekolah Kristen taat yang damai dan penuh kasih Kristus di Suburban ke SMA dajjal di Jakarta Selatan a.k.a SMA Negeri 70 Jakarta TANPA KENAL SIAPA-SIAPA (meskipun gue lebih deg-degan pas mau masuk aud alias naik kelas dua, bisa dibaca di sini). Hari pertama masuk kuliah, isi perut gue jumpalitan karena... yah, siapa sih yang nggak deg-degan masuk kampus segede UI?

Asyik rasanya, deg-degan lagi, mengira-ngira besok kayak apa lagi, takut-takut yang nggak penting gitu, karena apa sih yang mungkin terjadi di hari pertama? (kalo ini film, ketika si tokoh utama bilang "apa sih yang mungkin terjadi?" sambil tertawa meremehkan, biasanya setelah itu terjadi malapetaka)

Hari pertama dateng, dan karena gue masih >.< anak piyik >.<, gue... dianter bokap gue HAHAHA bayangin berangkat kerja dianter papa. Bokap gue heboh sendiri soal protokol keamanannya, sampe dia ikut turun dan menjelaskan ke resepsionis tentang pentingnya menjaga udara bersikulasi dengan baik👍

Hal yang lupa gue ceritakan adalah... yang mengurus proyekan ini sepenuhnya adalah Abam sekeluarga. Abam temen kuliah yang nawarin kerja via Nadya tadi. Nah, sedikit mengenai background Abam, Abam adalah laki-laki dari keluarga Batak Kristen (yang kalo gue generalisasi, tipe keluarga yang masih ikut parsahutahon gitu). Kemungkinan, Abam gereja di HKBP. Dan karena proyekan ini butuh hampir 200 mahasiswa, temen-temen yang Abam ajak adalah temen kuliah, temen SMA, dan naposo gerejanya (naposo adalah istilah bahasa Batak untuk pemuda. Di sini stereotype-nya berarti abang-abang Batak penyembah Tuhan yang menyanyi Marholong Dua di waktu luang).

Jadilah, selain anak-anak FEB UI yang didominasi etnis Tionghoa, sisa dari mahasiswa lain yang ada di situ punya nama-nama superBatak sampe seakan-akan keluar dari Batak Name Generator. Ini nama-nama random yang gue jadiin contoh ya, tapi nama-namanya same energy semua, kayak Andreas Pandapotan Butarbutar atau Tiurlan Harahap gitu💀

Selain mahasiswa-mahasiswa out of HKBP, pekerja-pekerja lain kayak resepsionis, pengukur suhu, yang jaga buku absen, yang bagi-bagi makanan, semuanya, SEMUANYA, adalah inang-inang Batak.

um, traumatis.

Secara umum, sistem kerjanya begini. Selama 21 hari (di luar hari libur), gue dan hampir 200 mahasiswa lainnya akan mengerjakan suatu kerjaan auditing. Untuk meminimalisasi kontak, kira-kira 100 mahasiswa ditugaskan di lokasi A, dan sisanya di lokasi B (semuanya masih di Jakarta). Gue dapet lokasi B.

Kemudian, sampai di sana, akan ada pak satpam yang mengecek suhu para budak korporat ini di gerbang depan. Gue merasa mereka kurang edukasi sih soal ini, karena mereka: 1) mengecek suhu gue di punggung tangan (sementara, suhu yang paling mendekati suhu dalam tubuh kita ada di dahi dan ketiak), 2). mereka kurang tahu suhu ideal manusia. Masa gue dibiarin masuk dengan suhu 34 derajat?

Setelah itu, naik ke lantai 3. Di sana kita akan disambut beberapa inang-inang yang setiap hari ber-dresscode macam anak SMP pergi karyawisata. Inang-inang akan menyuruh kita mengisi buku absen (tanda tangan dan pilih minuman untuk snack, mau kopi atau teh), kemudian ukur suhu lagi (kali ini di dahi, hebat inang👍), cuci tangan dengan hand-sanitizer, lalu masuk ruangan. 

Ruangannya terdiri dari 2 bagian besar, yang dibagi dalam beberapa sekat-sekat kecil. Anggap ada 2 bagian, bagian depan (yang JAUH lebih tenang karena berlokasi dekat dengan inang-inang dan memiliki fungsi yang lebih bagus: lampu lebih terang, jendela-jendela besar, dan AC yang berfungsi), serta bagian belakang (agak gelap, dekat toilet, suhu yang panasnya mendekati neraka).

Di bagian belakang, terdapat 2 sektor, yakni kursi 60-80, dan kursi 81-99. Gue dapet di kursi 81-99 ini. Karena jauh dari inang-inang yang berpatroli, bagian ini jauh lebih berisik, hectic, dan PANAS. Selain karena AC-nya keliatan luar biasa usang, juga karena bokap gue, di hari pertama, request ke inang-inang untuk membuka SEMUA jendela sampe AC-nya nggak terasa lagi.

Sori, mentemen.

Dalam setiap sektor, ada 1 supervisor (tugasnya bikin template audit, ngurus data, dan lain-lain). dan dua in charge. Kalo dari peraturan yang dibacakan di zoom meeting pertama sih, harusnya kita duduk di tempat masing-masing, kemudian hanya in charge-in charge ini yang jalan-jalan, untuk jawab pertanyaan, ngecek pekerjaan, dan lain-lain. Kenyataannya, karena kita segerombolan anak muda yang agak tidak takut mati dan rindu interaksi sosial, kita lebih sering jalan-jalan, ngobrol, dan-lain-lain, meskipun semua langsung patung mode kalo patroli inang-inang menyambangi wilayah ini.

Gue nggak yakin gue boleh membeberkan apa tugas gue, tapi intinya, jobdesk kami para budak adalah mengaudit data nasabah dari suatu perusahaan asuransi. Kalau kalian p e k a terhadap lingkungan, mungkin kalian tahu ada kasus korupsi milyaran rupiah oleh suatu perusahaan asuransi, lagi marak dibicarakan belakangan ini? Nah, tentu nasabah harus tetap mendapatkan premi mereka kalau terjadi hal yang nggak diinginkan, jadi mereka harus semacam... dipindahtangankan? ke perusahaan asuransi lain. Dalam proses pemindahtanganannya, dibutuhkan penyesuaian data dan lain-lain. Itulah yang dilakukan auditor.

Salah satu bagian dari penyesuaian adata adalah mengecek apakah dana/data yang terekam di perusahaan ini bersesuaian dengan dana/data yang ada di kartu identitas. Yes, nomor KTP dan KK, alamat, nomor rekening, NPWP dan lain-lain. Itu sebabnya, pekerjaan sederhana yang hanya membutuhkan internet dan Microsoft Excel ini nggak bisa dilakukan di rumah, karena mereka parno kita akan mencuri data-data orang-orang tajir ini untuk mem-blackmail mereka (atau versi gampangnya, dicuri untuk pinjaman online). Selesai mengaudit, semua data harus dihapus sampai bersih dari perangkat masing-pasing pegawai.

Ketika gue bilang mereka tajir, beneran TAJIR. TAJIR MELINTIR (meskipun melintir aja sih, bukan melintir terputer tekewer-kewer kayak keluarga Bakery itu). Beberapa bergaji pokok ratusan juta per bulan, menjabat jadi presiden direktur perusahaan-perusahaan yang produknya kita pakai tiap hari.

Meskipun mereka tajir, itu nggak menjamin mereka mengisi data dengan baik dan benar, btw -___-. Entah instruksinya nggak jelas atau mereka sibuk banget (tau bapak-bapak berjas di sinetron yang selalu terburu-buru, nggak sempet sarapan dan meninggalkan roti dan jus jeruknya? bayangan gue kayak gitu). Selalu, SELALU, ada aja yang salah atau nggak lengkap.

Bagian mengaudit data ini, jobdesk hari-hari pertama, hampir nggak membutuhkan pikiran. Kita nggak perlu banyak konsentrasi, jadi pikiran gue sering kemana-mana dan gue jadi membayangkan rasanya jadi orang-orang ini (atau to be precise, ANAKNYA orang-orang ini). Asik banget nggak sih, jadi cici-cici Surabaya supertajir yang sampe bisa punya gym sendiri di rumah dan membagikan iPad sebagai souvenir Sweet 17th? Atau permasalahan hidupnya sekadar "mobil i yang Lexus dipakai mami i nih :((( masa i harus pake fortuner :(((", gitu. Apa ya rasanya? Apa udah nggak berasa lagi?

 Gue juga memerhatikan gelar-gelar orang. Ada yang kerja jadi dekan universitas, dan punya gelar sampai 6. Ada juga yang punya gelar Dra. tapi pendidikan terakhir SMA (kalo kata Sistha, Dra.-nya untuk Dracula). Ada juga bapak-bapak bergelar profesor muda yang penghasilannya nggak terlalu banyak, namun keterangan penghasilannya dari pensiunan hasil kebun! Hasil kebun! Gue membayangkan bapak-bapak gemoy yang menyiangi tanaman kailan jam 9 pagi, menyeka keringat, dan dapet 25 juta.

Semakin banyak data-data orang-orang yang gue lihat (terutama gelar dan penghasilannya), semakin sadar gue mengenai seberapa berbedanya nasib orang-orang. Gue, kelas menengah beruntung yang bisa dapet gaji sekian juta hanya karena kerja kontrak 21 hari, jauuuuh lebih beruntung dibanding temen-temen yang harus panas-panasan di lampu merah atau di proyek untuk dapet uang hari itu. Tapi, gue, yang menerima risiko duduk bersama ratusan orang di tengah pandemi demi dapet gaji sekian juta, miriiiis banget kesannya, gajinya cuma sebesar uang jajan setengah hari mereka, mantengin data dan dana premi orang-orang kaya ini di kursi lipat tempat bimbel yang keras.

Dan kalo lo dateng ke seminar Sukses di Usia Muda oleh putri Harry Tanoe, mungkin lo akan mendengar kata-kata semacam "usaha nggak akan mengkhianati hasil!" dan semacamnya. Tapi nyatanya, orang-orang yang gue temui jualan asongan di tikungan sebelah kantor, bekerja lebih keras daripada gue hari itu dengan penghasilan yang sukur-sukur bisa dipake nyekolahin anak. Mungkin juga jauh lebih keras dibanding anak-anak muda yang terlahir tajir, sehingga bisa bebas bereksperimen membuat startap abcd dan jadi CEO lalalalilili karena punya jaring pengaman berupa duit ayahnya.

Gue sendiri menyadari privilese gue. Gue tinggal di Jakarta di mana akses sumber daya dan informasi bisa didapatkan dengan mudah. Gue nggak pernah berada di ambang garis kemiskinan, yang memungkinkan gue untuk mendapatkan gizi yang cukup di masa pertumbuhan, dan sekolah yang bagus. Tau nggak, hanya 18% persen populasi Indonesia yang berkesempatan untuk kuliah lho. Dan untuk gue berhasil tumbuh dan belajar di universitas yang menyandang nama bangsa, gue adalah nol koma nol nol sekian persen yang luar biasa terberkati.

Gue nggak tau apakah anak-anak dari CEO-CEO dan presdir-presdir ini sadar mengenai betapa beruntungnya mereka. Beberapa orang bahkan nggak sadar bahwa apa yang sudah mereka anggap sebagai kebutuhan, sebagai nafas hidup, adalah hal-hal yang bahkan nggak diimpikan untuk bisa dicicipi oleh sebagian orang. Bukan salah mereka sama sekali, sih, kalo mereka nggak tahu. Tapi ketidaktahuan itu bisa menghalangi mereka untuk berbuat lebih daripada yang mereka bisa lakukan (dengan semua sumber daya yang ada).

Tapi gue, kelas menengah yang cukup sadar akan langit dan jurang di sekeliling gue, lebih terbuka aja matanya kalau dunia itu... beragam. Kalau kesempatan dan berkat skala bentuknya beda-beda. Kesadaran ini bikin gue merasa gue harus melakukan sesuatu. Sekarang, sih, gue nggak tau apakah gue bisa punya idealisme yang sama kalau ntar (moga-moga) sukses.

Sejauh ini, itu sih yang membuat gue selalu merasa nggak cukup. Mungkin ini pikiran bocah 20 tahun yang pertama kali mencicipi dunia kerja. Mau lebih terus, kurang terus. Bagusnya, gue nggak berhenti untuk belajar. Buruknya, gue nggak bisa stop nunduk dan dangak (untuk melihat: kira-kira gue udah di level berapa?), atau kiri dan kanan (temen-temen gue udah sampe mana ya?).

Kalau kata orang harus mulai liat ke bawah, kayaknya nggak cocok ya, karena liat ke bawah juga salah satu alaan untuk gue terus maju. Mungkin yang lebih tepat, lihat ke dalam. Puas nggak? Cukup nggak? Semoga suatu saat nanti, gue akan cukup meras content hingga bisa mengikuti jejak bapak profesor yang pensiun dini untuk bertani.

Segitu dulu cerita-cerita pengalaman gawe + pikiran nggak penting yang muncul di sela-selanya. Cheers!

Comments

Popular Posts