Adulting 101: High Risk, High Return

Gue boleh jadi takut hantu (udah ngga sih) takut Ucok Baba waktu balita (sori ableist), dan takut bekicot, tapi to be honest... I am one of the bravest people I know.

Contoh keberanian-keberanian gue:

1. Waktu kelas 12, gue kepingin masuk Teknik Lingkungan. Nilai gue cukup (dan paling tinggi), di antara orang-orang yang berniat ambil Teknik Lingkungan UI di jalur undangan.

Tapi karena gue mau masuk ITB, I despised the chance. Jalur undangan nggak ambil UI, PPKB gue nggak ambil sama sekali, dan gue masukin FTSL ITB sebagai pilihan satu-satunya.

2. Ketika gue nggak dapet ITB di SNMPTN, gue nggak nyerah. Gue ambil FTSL ITB LAGI sebagai pilihan pertama di SBMPTN.

Pilihan kedua dan ketiganya? FTUI.

Meskipun pada akhirnya gue nggak berakhir di ITB (dan berhasil masuk DAN KELUAR dari UI), seenggaknya gue nggak dihantui pertanyaan, "what if gue ambil ITB dulu ya?". I know! I had the chance, I took it. Bukan jalan gue aja. Dan jauh, jauh lebih lega rasanya ketika gue sudah melakukan yang terbaik, meski hasilnya nggak seperti yang gue proyeksikan. Nggak ada pertanyaan yang membayangi.

3. Gue berani nya-PO CENS.

Gue mencalonkan diri jadi project officer CENS waktu itu. Keberanian besar, karena ini adalah acara level nasional, dengan birokrasi bersama alumni yang nggak main-main, pun dengan lawan-lawan dari suku dan agama mayoritas yang punya resource jauuuh lebih banyak dari gue.

Hasilnya, seperti yang kalian tahu, ya gue nggak menang. Tapi, the friends I found along the way, the lesson I learnt, the dreams that I prayed for, mahal banget harganya buat gue.

(Btw, jawaban ini nggak disukai sama HR BCA HAHA. Gue nggak boleh tuh menjawab bahwa apa yang gue pelajari dari situasi ini adalah hal-hal yang abstrak kayak yang di atas. HHHHHHH masa kandidat harus menjawab sesuai apa yang dia mau seeh.) 

4. Gue jadi anak bimbingan Pak Alvin.

Kalo ini, kejebak sih sebenernya. Gue tau kalo ada dosbing lain yang lebih sans, tapi gue nggak taku beliau ini (dosbing gue) segitunya!

5. Gue berani nolak tawaran kerja dengan gaji 2 digit, asuransi dan tunjangan luar biasa, dari salah satu perusahaan paling terkenal se-Indonesia.

Yes, ini jawaban yang kita tunggu-tunggi dari postingan sebelumnya di sini! Akhirnya, setelah melalui banyak pertimbangan: soal waktu, trajectory karir dan hidup, minat bakat dan apa yang gue mau pelajari, gue menolak offer kemarin, guys! Gue akhirnya mengiyakan tawaran lain di field yang gue inginkan, meski gajinya nggak sampe setengahnya pun statusnya bukan karyawan tetap (dan pulangnya jam 12 malem. Kata gue GWS deh loe kalo sampe setiap orang pulang jam segitu hampir setiap hari, gue rasa ada yang salah dari manajemen sumber daya manusia perusahaan lo. Tapi ini topik kapan-kapan, ya!).

Itu adalah keberanian-keberanian yang gue ambil dengan kesadaran penuh. Dalam hidup gue yang luar biasa ini (boleh dimaknai sendiri maksudnya), ada keberanian-keberanian yang pengambilan keputusannya ada di luar kendali gue. Misalnya, masuk SMAN 70 Jakarta aka sekolah negeri paling negeri yang paling Jaksel se-Jaksel---padahal SMP gue adalah SMP swasta kristen overachiever yang alim dan menggunakan agenda setiap hari alih-alih grup line kelas.

*gue membayangkan gue lari dari pesta pernikahan gue dengan berani*

Apakah gue bodoh?

Ya, mungkin. Dalam hal lain. Dalam hal-hal ini, nggak kok. Semua pengambilan keputusan sudah melalui serangkaian skoring lewat Microsoft Excel, dengan pilihan-pilihan yang melalui rangkaian flowchart dari draw.io. Lebih penting lagi, semua keputusan gue sudah gue konsultasikan ke orang-orang yang gue percayai, dan melalui berlapis-lapis doa serta pernohonan. Gue boleh jadi ceroboh dalam banyak hal (nabrak pintu, kesandung, salah kirim chat minta dijemput ke grup kerjaan di hari pertama masuk), tapi dalam memilih, I took my time in it. I had my reasonings and goddamn some things are just too risky. But they are worth it.

Berkaca dari pengalaman gue, beberapa nggak turned out seperti yang gue kira, tapi malah lebih baik lagi---in different way. Memang ada kejadian-kejadian spesifik atau orang-orang khusus yang PERLU terjadi dalam hidup gue untuk membentuk gue menjadi gue yang sekarang.

Tentu ini semua nggak lepas dari sikon yang ada di sekitar gue, ya. Keluarga yang nggak banyak menuntut untuk gue hidup sesuai standar sosial banyak orang (atau dalam hal lain, yang sering menjawab "yaaa terserah kamu lah, Nak!"), kondisi sebagai anak tunggal (gue nggak punya siapa-siapa yang harus gue biayai sekolahnya, meski ini artinya orang tua gue have one shot in raising anak yang berhasil), serta drive yang cukup kuat dalam diri. Entah dalam bentuk malu, balas dendam, atau ya... keras kepala aja. Hahahaha.

Kemudian... apakah gue kapok?

Kapok... apa? Selalu mengambil the harder way karena gue nggak setengah-setengah, hmm... sedikit. Tapi menjadi berani sebagai cara memperjuangkan apa yang gue anggap layak dan berarti? Nggak kayaknya.

And the last one, I think the root of all these has always been faith.

Comments

Popular Posts