Adulting 101: Semua Orang Bilang Cari Kerja Itu Susah, Tapi Nggak Ada yang Membahas PILIH Kerja Juga Susah

 Gue rasa judulnya udah cukup menjelaskan hidup gue sekarang ya.

Hai. Lama nggak ketemu di segmen ini. Kenalin lagi, Jemima, S.T.! Gila. Setelah huruhara dan empot-empotan mengerjakan skripsi, akhirnya gue jadi Sarjana Teknik! Sarjana Teknik yang nggak tahu mau kerja di mana.

Gue nggak siap melepas status mahasiswa dan terlunta-lunta tanpa
menjadi bagian dari institusi pendidikan manapun.

Meskipun gue lulusan Teknik Sipil, meskipun gue sudah menghabiskan lebih kurang 5 semester mengurus fondasi, beton, baja, bendungan, dan tetekbengek infrastruktur lainnya, gue JELAS-JELAS nggak ingin kerja di kontraktor.

1. Gue? Kontraktor? Hah?

Pertama, gue bego. Gue BEGO banget sampe nggak lulus kalkulus 1 (sebenernya ini kayaknya karena dosennya freak dan suka tidak meluluskan orang tanpa alasan, tapi yaudahlahya, udah meninggal juga), kalkulus lanjut (setengah kelas nggak lulus, sih), dan satu matkul struktur (nah, kalo ini MURNI kebodohan gue).

Selain bego, gue juga... apa ya, eneg, mungkin. Nggak ada hari-hari yang lebih membosankan daripada duduk di depan laptop sampe jam setengah 4 pagi, merancang gudang pabrik untuk mendesain betonnya. Atau menghitung penampang-penampang dan mencari gaya-gaya. Mengiterasi luas penampang pipa untuk membuat bendungan. Mencari harga satuan pekerjaan untuk membuat terowongan penyebrangan jalan dan mengasumsi jumlah pekerjanya, bertanya-tanya kenapa harga pembuatannya 10 milyar. Atau sekuat tenaga melawan kegaptekan dan menggunakan berbagai macam perangkat lunak seperti AutoCAD, Etabs, Openroads, ArcGIS, dan lain-lain. Nggak. Nggak dulu.

Terus, setelah gue KP (kerja praktik) di proyek, gue merasa itu... nggak worth it. Menurut gue, akan sangat bisa diterima kalau lo menyukai bidang ini, tapi gue kan nggak. Bayangin, mereka masuk jam 8 pagi, kemudian melakukan hal-hal aneh seperti berjemur (di Waskita ada program berjemur untuk mencegah COVID), kemudian mengurus bangunan atau proyek manapun sampai... jam 7 malam. Jam 10, kalau lembur. Jam 2 pagi, kalau lagi masa audit. Meskipun mars Waskita berkumandang jam 5 menandakan gue, anak magang, bisa pulang. Kemudian mereka akan pulang ke mess dan bertemu wajah yang itu-itu lagi, sampai Sabtu datang dan mereka bisa pulang ke rumah masing-masing. Ya, bahkan mereka masuk di hari Sabtu! Dan kabarnya, gajinya gak gede-gede amat plus selalu ada risiko lo ketimpa tembok runtuh atau apa. Belum lagi kalo lo ditempatkan membangun jalan di Halmahera Utara atau apa. Ogah, amit-amit, ketuk jidat dan meja tiga ribu kali.

Yang terakhir gue alergi debu. Kesannya sepele ya, tapi peristiwa ini agak malu-maluin karena gue bikin panik satu Waskita. Gue menyambangi proyek yang belum jadi yang penuh debu bertebaran, dan kembali dengan kulit gatal-gatal dan saluran pernapasan yang membengkak. Mind you, ini zaman Covid, jadi ketika gue bersin tanpa henti di kantor Adkon (administrasi dan kontrak), semua orang panik dan menyuruh gue tes antigen. Gue rasa gue akan didemo untuk segera isolasi mandiri kalo nggak tes saat itu juga.

Di sini, ada pemeriksaan Covid secara berkala, yang dilakukan secara mandiri oleh petugas dari bagian HSE (Health, Safety, and Environment). Jadilah gue, dan Nadya karena kami tinggal bareng-bareng kala itu, dites antigen sama Mbak Hesti, namanya. Hasilnya negatif dan semua orang lega.

Sampai ternyata siangnya, Mbak Hesti yang ketahuan positif Covid, sudah agak lama karena CT-nya rendah. Di hari yang sama dia mengetes gue, dan semua orang tahu kalau kamu dites, maka lo akan membuka masker di depan dia, kan?

Kemudian semua orang panik lagi karena gue kontak erat dengan Mbak Hesti dan jadinya gue harus isolasi mandiri. Di MINGGU KEDUA gue kerja proyek.

Hidup gue ketika KP memang mirip Violet Baudelaire.

Yah, kesimpulannya gue NGGAK MAU kerja di kontraktor. Yang seharusnya sudah gue putuskan sejak semester tiga.

2. Gue? Di Transport? Oke Kok, Asal...

Lain halnya dengan transportasi. Simpelnya, transportasi adalah satu-satunya cabang dari dunia teknik sipil yang gue suka, itu pun yang tentang sistem, bukan pembuatan aspal. Harusnya gue memang kuliah Perencanaan Wilayah Kota (tapi gue tolol dalam menggunakan ArcGIS).

Selain karena gue bodoh hitungan (maksudnya sebagai anak teknik, ya, kalau dibandingkan dengan semua manusia di dunia, logika matematika gue baik kok), hal yang gue suka dari transportasi adalah dia fleksibel. Nggak saklek, gitu, nggak seperti menghitung tegangan aman. Ketika membuat bangunan, angkanya jelas. Beban melebihi batas aman, ya tidak aman, rombak semuanya.

Bagi gue, transport lebih longgar. Mungkin karena berhubungan dengan behaviour manusia, di mana apa yang kami rancang, baik jalan, fasilitas umum, maupun kendaraannya, akan lebih kondisional. Hal-hal ini akan dipengaruhi oleh kondisi geografis, kebiasaan bermobilisasi, sistem perkotaan, pendapatan, tingkat pendidikan, bahkan kebiasaan suatu suku atau golongan. Lebih banyak ruang untuk berkarya.

Sejujurnya ya, meski bayarannya mengenaskan dan sepertinya atasan gue muak pada gue, gue sangat menikmati magang di ITDP Indonesia. ITDP atau Institute for Transportation and Development Policy adalah suatu organisasi nonprofit yang menawarkan bantuan teknis pada pemerintah sebelum mereka merumuskan sebuah kebijakan. ITDP juga menerbitkan semacam whitepaper untuk mengulas kondisi perkotaan dan transportasi, melakukan riset, dan kadang melakukan diseminasi bersama pihak-pihak terkait, baik dalam maupun luar negeri.

Selama di ITDP, gue ikut cukup banyak proyek. Gue melakukan riset superspesifik mengenai anjuran kepemilikan becak listrik di Rwanda, misalnya. Gue riset kualitas TransJakarta di berbagai halte sampai-sampai nyasar ke Jelambar. Gue merancang survei mengenai tempat parkir (dan menghitung jumlah akses parkir di 31 tempat parkir di Jakarta Pusat). Ada diseminasi bersama UK PACT, gue ikut menjadi notulen, menghubungi interpreter, menulis report, dan lain-lain.

Itu juga yang gue senangi bekerja bersama ITDP. Mereka luar biasa inklusif. Gue belajar banyak soal pass the mic, atau memberikan atensi kepada pihak-pihak yang memang butuh. Janganlah lo, yang nggak bisa relate, sok-sokan membuat kebijakan yang jatuhnya merugikan orang lain. Mungkin lo nggak maksud, tapi lo nggak kepikiran aja.

Misalnya, tentang kendaraan listrik. ITDP mengundang orang-orang dengan disabilitas yang menggunakan kursi roda listrik untuk turut serta menyumbangkan keputusan sebelum kebijakannya ditetapkan. Ada pembicaraan menarik mengenai lampu lalu lintas bersinyal, atau lampu yang bisa lo tekan agar warnanya merah supaya pejalan kaki bisa menyebrang.

Ketika lo jadi pengendara kendaraan bermotor, kadang mungkin lo bete karena lampu tersebut terlalu lama. Buat apa, sih, kenapa nggak pakai jembatan penyeberangan aja? Atau ketika lo menjadi pejalan kaki yang menyeberang, lo sudah sampai ke sisi satunya dan si lampu masih aja berisik "TOT TOT TOT TOT".

Tapi bagi teman-teman kita yang menggunakan kursi roda atau tongkat, penyeberangan sebidang itu membantu sekali. Fasilitas JPO atau TPO (terowongan penyeberangan orang) umumnya sangat nggak ramah disabilitas, nggak ada lift-nya atau apa. Waktunya yang lama pun (12 detik), kadang masih kurang lama untuk menyeberang. Nah, kalau kalian adalah pembuat kebijakan, penting untuk mendengarkan persepsi dari orang-orang ini.

Meski seru pindah-pindah proyek, dan rasanya seperti superhero, kayaknya kerja di sini capek sekali. Kalau soal miskin, gue nggak tahu sih, karena gue sudah stalk LinkedIn user-user gue dan mendapati mereka semua lulusan S2 di luar negeri. Jadi, kalau mereka bukan orang-orang idealis yang ingin memajukan bangsa atau apa, harusnya, gajinya ok, kan?

Masalahnya, gue bahkan menyelesaikan masa magang gue tanpa akhir yang gimana-gimana. Nggak ada ucapan terima kasih, tawaran membuatkan surat rekomendasi, atau apa aja, deh. Apalagi tawaran untuk lanjut.

Gue mencoba beberapa perusahaan lain. Grab dan Gojek, misalnya, atau perusahaan logistik. Tapi sepi saja, nggak ada jawaban apapun. Well.

3. Gue MAU Banget Kerja di Konsultan, Tapi...

Sebetulnya sih, selama kuliah, gue nggak ambil pusing soal mau kerja apa. Yang pasti, gue mau kaya, gue nggak ingin kerja yang repetitif seperti di kelurahan atau apa, dan gue nggak mau kerja di kontraktor. Semester-semester itu gue habiskan dengan ikut banyak sekali lomba, lebih dari 10, deh, kayaknya. Beberapa business case, banyak lomba paper, ada lomba menulis, ada juga lomba kasus (peserta diberi permasalahan khusus serta data-data pendukung, dan diminta datang dengan solusi yang komprehensif).

Gue cuma menang tiga di antaranya, kayaknya, tapi gue masuk final hampir di semua lomba. Seru, deh. Gue pernah menyusun manajemen rantai pasok untuk pemerah sapi di Jawa Barat, mengembangkan aplikasi e-hailing untuk mendukung perkembangan angkot, membuat platform untuk meningkatkan experience pembeli, merancang apartemen hijau, meriset pasar bootcamp se-Asia Tenggara dan menyusun program gamifikasi, mengampanyekan sawit baik, menyusun poin-poin regulasi sertifikasi industri hijau.

Gue sangat menikmati itu! Gue suka riset, bisa dilihat dari screen time google gue yang luar biasa. Gue banyak ide, jadi nggak pernah kesulitan untuk come up dengan solusi-solusi yang digabung-gabungkan, dipilih-pilih, atau diseleksi sampai nggak ada plot hole lagi di dalamnya. Gue suka bekerja dalam tim, apalagi kalau tim itu terdiri dari orang-orang berzodiak earth sign, karena mereka semua tidak berapi-api dan bisa diandalkan.

Dan yang pasti gue suka... thrill-nya. Panik-panik saat idenya nggak kunjung dapat. Membuka tiga puluh tab berbeda, masing-masing setengah dibaca. Menuliskan konsep secara kasar di kertas dengan spidol sampai akhirnya... eureka moment! Eureka moment adalah frasa yang gue buat ketika ada orang yang menekan saklar lampu di kepala lo dan mendadak segala sesuatu jadi jelas, menjawab, dan seluruh tubuh lo diselimuti dopamine. Menyenangkan.

Kata Radifan (dan banyak orang lainnya), itu berarti gue cocok kerja di konsultan. Gue palugada, katanya, apapun bisa gue tawarkan. Licin, lincah, berkelit-kelit di antara banyak persoalan.

Selain itu, kabarnya, kalau lo kerja di konsultan, hidup lo bukan milik lo lagi. Kayak punya anak. Harus bersedia lembur atau meeting ketika weekend. Ditagih report ketika cuti. Yang adalah nggak masalah, karena sejak gue masuk Sipil pun, hidup gue bukan milik gue lagi.

(kata Josua, mungkin baiknya gue nggak menjadikan kerjaan sebagai pusat hidup gue. Kerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja. Hal ini susah untuk diaplikasikan kalau lo melihat value lo ada pada karir dan pencapaian. Ini issue gue yang berbeda, tapi bisa dibaca di sini).

Karena itu gue daftar di konsultan. Semua yang terbaik gue coba (karena gue punya rasio yang tepat antara rendah diri mampus dan pede setengah mati). Big 4, MBB, bahkan konsultan lingkungan juga. Gue masukin CV ke semuanya, dan dipanggil interview di salah satunya.

Gue mempersiapkan diri habis-habisan sih untuk interview ini. Gue latihan case framework sampe begadang, gue mengkurasi seluruh pengalaman hidup gue sampai terdengar lantang bahwa, "hei, lihat aku, meski sarjana teknik, aku mampu memecahkan segala jenis masalah yang kamu lemparkan kepadaku!" melalui pengalaman lomba dan magang-magang gue yang palugada itu. Semuanya gue susun dengan hati-hati, karena dilakukan dalam bahasa Inggris dan gue merasa belum cukup lincah untuk "menjual diri" dalam bahasa asing.

Hasilnya? Gagal total. Nggak juga sih, mengingat gue baru dipanggil tes dan wawancara Deloitte saja, tapi yang itu pun hasilnya awur-awuran banget. Sisanya, CV gue nggak dilirik sama sekali, kayaknya. Masuk akal karena gue cuma lulusan Teknik UI yang bahkan nggak cumlaude. "Cuma" di sini bukan merendah, tapi memang kalah jauh memang dibanding kandidat-kandidat lain yang S2, kuliah di luar negeri, atau punya IP nyaris sempurna dari Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB atau Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI sambil menjadi ketua tiga organisasi berbeda dan pertukaran pelajar di luar negeri. Yah.

4. Tuhan, Terimalah Aku di FMCG

Selain konsultan, gue juga pengen masuk FMCG atau Fast Moving Consumer Goods. FMCG itu... pintar, dan pandai beradaptasi. Bayangin lo adalah satu perusahaan yang menghasilkan 40 merek berbeda, masing-masing variannya lebih dari 2. Lo harus pandai riset pasar dan menentukan, merek yang mana bisa masuk ke kalangan yang mana. Lo harus tahu apa kebutuhan konsumen yang berubah-ubah dengan cepat, menyesuaikan diri di tengah pandemi, cepet-cepetan menghadirkan barang baru yang tidak hanya dibutuhkan, tapi juga inovatif dan punya nilai jual. Gue ingin kerja di lingkungan seperti itu.

Selain itu, mau dunia kiamat sekalipun, kayaknya kita akan tetap butuh susu, sereal, atau pasta gigi, kan? Nah, setidaknya gue bisa yakin bahwa perusahaan gue nggak akan gulung tikar di tengah jalan.

Karena pendaftarannya buka di bulan Mei dan Juni, di mana gue belum sidang, jelas-jelas gue masih idealis dan merasa layak kerja di FMCG terbaik. Saat itu, gue cuma daftar 3: Nestle, Unilever, dan L'Oreal. Sotoy memang, tapi gue dipanggil terus, lho! Nestle sampai interview (gue sampe dateng ke gedungnya yang megah itu), Unilever sampai FGD, dan L'Oreal sampai video interview. Rangkaian tes, wawancara, studi kasus, dan dinamika kelompok dari FMCG adalah rangkaian tersulit yang pernah gue jalani.

Itu semua gue lakukan dengan kerja keras. Gue membuka setumpuk file lama dan belajar dari lomba-lomba gue, misalnya. Gue begadang mengkurasi wawancara (dan berusaha meyakinkan mereka bahwa "aku supply chain banget loooh"). Gue belajar tes dasar mengenai supply chain sampai membaca-baca buku kuliah anak-anak Teknik Industri dan Teknik Kimia.

Well, itu masalah besarnya. Nggak peduli sekeras apapun gue mengejar ketertinggalan, tetap ada engineering sense anak-anak TI dan Tekkim yang nggak bisa gue samakan. Ketika FGD, misalnya, approach gue sebagai anak Sipil akan beda dengan approach mereka yang bahkan punya mata kuliah Pabrik (yeah, gue kan punyanya mata kuliah Proyek). Solusi atas kasus-kasus yang gue selesaikan segar dan disukai, tapi tetap tidak sebaik dan semenyeluruh orang-orang yang sudah bercokol 4 tahun di bidang itu, meski katanya supply chain terbuka untuk semua lulusan teknik.

5. Gue? Kerja di bank? Becanda lo?

Bodohnya, gue malah daftar di bank!


5.1 Bodoh, karena gue bukannya lagi putus asa atau apa. 

Gue baru selesai revisi skripsi di hari Minggu, di hari Kamis-nya gue daftar di bank. Padahal, pengen pun nggak. Ngebayangin akan pernah pengen pun, nggak.

Bukan bank main-main sih, tapi bank biru, bank swasta terbesar di Indonesia, kayaknya. Gue baru selesai sidang seminggu, dan masih merasa layak untuk jadi bagian dari perusahaan-perusahaan terbaik. Pengen aja, melihat Ritya dengan bersemangat daftar itu. Di tahap ini sih gue coba semua. Ya kan? Itu yang lo lakukan kalo lo fresh graduate tanpa tujuan hidup.

Yang gue tahu, kerja di bank itu nyaman. Stabil, banyak tunjangan, pulang tenggo, dan banyak cuti hari raya. Ruangannya ber-AC dan asumsi gue, gue nggak akan bersin-bersin karena agregat halus.

5.2 Bodoh, karena gue nggak menyeriusi ini.

Tahap penerimaannya panjang banget. Masuk akal karena sepertinya semua orang mau kerja di bank ini. Benefitnya gila-gilaan. Tapi ketika itu, gue melakukannya asal-asalan saja. Bagian paling serius dari mengisi tahap ini adalah mengisi data diri, kayaknya.

Setelah memasukkan daftar diri, ada online assesment. Tentu saja gue nggak belajar, selain karena itu adalah matematika dan bahasa Indonesia sederhana, karena gue... nggak niat!

Kemudian, psikotes. Melihat rupa-rupa pola, menggambar, studi kasus, dan wawancara dengan psikolog. Nah, gue serius deng menjalankan studi kasusnya. Waktunya satu setengah jam, dan jawaban gue lebih dari seribu kata. Wawancara dengan psikolognya menyenangkan, sih. Gue nggak merasa tersudutkan dan durasinya lama banget, 70 menit. Kalau sedikit lebih lama, kayaknya gue bisa menceritakan rahasia gelap gue ke si psikolog.

Setelah itu, FGD atau dinamika kelompok. Bagian yang paling gue gak suka dari tahap rekrutmen karena gue males merasa jiper di antara kandidat-kandidat lain. Sebelum-sebelumnya, di FMCG, gue belajar sampe gila sebelum FGD. Sebagian karena ingin keterima, sebagian karena nggak ingin malu.

Setelah FGD ada presentasi. Gue nggak bisa bilang presentasinya apa, tapi pokoknya kami cuma punya waktu 30 menit untuk merencanakan presentasi selama 15 menit dengan tema yang mereka tentukan. Temanya? JAUH banget dari semua hal yang pernah gue pelajari, riset, atau lombakan. Jadi gue ulang dari awal: membaca contoh kasus, riset dengan kecepatan cahaya, mengonsepkan outline apa saja yang mau gue paparkan, memasukkan data, melakukan market sizing, strategi marketing, dan sebagainya. Ini bagian terniat dari seluruh rekrutmen, kayaknya. Lagi-lagi bukan karena gue ingin keterima, tapi karena gue nggak ingin malu!

Terakhir, wawancara dengan HR. Hasilnya kacau balau (karena gue hampir gontok-gontokkan dengan HR-nya, ugh), dan gue sudah lega kalau tidak diterima. Setidaknya, gue nggak harus membuat keputusan untuk melepas bank ini karena gue bermimpi kerja di konsultan, FMCG, atau transportasi.

5.3 Bodoh, karena gue... keterima.

Bingung gak? Gue nggak melebih-lebihkan atau merendah untuk meroket ketika gue bilang gue nggak berusaha sama sekali, karena gue betul-betul nggak niat. Highlight dari bagian ini adalah usaha gue untuk FMCG dan konsultan lima belas kali lipat dan gue nggak keterima, dipanggil pun nggak.

Lebih bingung lagi karena benefitnya. Gajinya dua digit. Tunjangan dan asuransinya buanyak, sampai gue harus scroll berkali-kali untuk sampai ke bagian paling bawah dari dokumen offering letter.

Gue menelepon Kak Astri, yang kerja di bank yang sama, senior gue tempat gue biasa konsultasi masalah keputusan-keputusan besar dari zaman kuliah. Bedanya, dulu kami mengobrol di depan kopma (tempat resmi untuk pembicaraan serius), membicarakan apakah gue harus mencalonkan diri jadi PO CENS. Sekarang perbincangannya lewat telepon, dan Kak Astri lagi menunggu lift. Kalau bisa gue simpulkan, benefit kerja di bank adalah:

1. Gajinya gede. Dua digit. Gila, gue nggak ngerti kenapa ada perusahaan yang mau membayar gue 2 digit angka setiap bulan.
2. Tunjangannya banyak. Tunjangan akhir tahun, tunjangan hari raya, belum lagi bonus. Bisa-bisa gue mendapatkan 14-15 kali gajian dalam setahun.
3. Asuransinya lengkap. Banget, bahkan kalo gue punya pasangan hidup dan 3 orang anak. Asuransi kesehatan, mulai dari dokter umum, dokter spesialis, sampe gigi dan mata.
4. Ada bantuan untuk cicilan rumah dan kendaraan. Rasanya agak terlalu jauh bagi gue, tapi ini pasti jadi benefit untuk banyak orang.
5. Lingkungannya bagus, menurut Kak Astri. Orangnya, terlebih di kantor pusat, menggunakan akal sehat mereka (kalo lo pernah sekolah di sekolah negeri, lo akan ngerti kenapa ini jadi pertimbangan). Nggak terlalu kompetitif juga, jadi bisa dapet teman.
6. Pulangnya tenggo! At least di divisi Kak Astri, sih. Yang adalah bagus karena ketika gue kuliah, seluruh hidup gue untuk sipil.
7. Gue akan bersama Ritya lagi! Menyenangkan, karena kami sudah sama-sama sejak kelas sepuluh, sama-sama les bimbel di Visi dan INTEN, serta sama-sama mengarungi Teknik Sipil UI.

Gue dan Ritya kalau gue jadi mengekor dia kerja di bank.

Intinya, pekerjaan ini stabil dan menjanjikan kalau lo ingin hidup lama dan enak. Dengan tenang.

5.4 Bodoh, karena... mungkin gue nggak ingin hidup tenang?

Nah, loh. Mungkin lo akan bertanya, kenapa nggak mau?

1. Gue ingin kerja di tempat yang banyak tantangannya.
1a. Yang proyeknya ganti-ganti. Lihat bagian kenapa gue ingin kerja di konsultan atau FMCG. Intinya, karena gue ingin mempelajari sangat banyak hal dalam waktu singkat.
1b. Di Bank jelas banyak tantangannya. Tapi kayaknya, tantangan yang nggak gue inginkan. Ini kayak menyuruh atlet senam indah main bola di Liga Inggris. Liga Inggris banyak tantangannya, jelas. Atlet senam indah juga jago olahraga kok. Tapi kan nggak pas?
1c. Mungkin gue memang nggak ingin hidup tenang. Nggak tahu ya, menurut gue di umur segini, memang masanya gue mati-matian kerja lembur, belajar kayak orang gila, dan party kayak orang sinting. Hal yang kayaknya nggak bisa dilakukan kalo lo sudah terikat dengan big girl job lo.
2. Ikatan dinasnya lama. Satu tahun training, dua tahun ikatan dinas. Kata opung gue, tiga tahun itu sebentar. Tapi umurnya sudah 86 tahun. Nah, tiga tahun itu lama kalau umur lo baru 22 dan lo nggak yakin bisa mendekam sebulan saja di tempat yang nggak lo inginkan.
3. Gue punya rencana ambil S2 di luar negeri. Di umur 24 tahun. Ini sebabnya gue ingin mempelajari banyak hal dalam waktu singkat, karena gue nggak tahu mau ambil magister apa. Nah, kalo gue menghabiskan 3 tahun untuk mempelajari segala hal tentang kredit, nasabah, dan investasi, bagaimana gue tahu gue mau ambil S2 apa? Gimana kalau gue harusnya ambil S2 katakanlah... urban planning?
4. Hmm, ini desas desus sih, tapi katanya bank ini agak diskriminatif terhadap ras-ras tertentu. Tepatnya sebagian besar suku yang bukan suku mereka. Akan susah naik pangkat atau semacam itu. Gue curiga ini adalah siasat untuk menghibur diri bila kami-kami yang pribumi ini nggak perform sebaik mereka.

5.5 Bodoh, karena pinaltinya GUEDE banget.

Ritya mengirimkan gue hitung-hitungan pinaltinya. Gede banget, sampe gue sakit kepala. Bisa ratusan juta. Ini berarti, kalau gue mau masuk, gue harus tuntaskan dengan baik. Sampai jadi manajer kalau perlu. Kalau keciprat, nyebur saja sekalian, kan?

Atau, ya... tinggalkan. Kalau takut basah, jauh-jauhlah dari kolam renang. Pergi ke garasi dan main sepeda.

5.6 Bodoh, karena gue nggak punya back-up plan.

Kalau gue ke garasi dan jauh-jauh dari kolam renang... terus apa? Naik sepeda, ke mana? Memangnya gue tau mau ke mana?

Sejauh ini, gue sudah mendapatkan dua email penolakan. Dari Astra (well), dan ERM, semacam konsultan lingkungan terbaik keempat di dunia kalau nggak salah.

Terus gue nggak mendapat jawaban apapun dari Loreal setelah lebih dari tiga minggu. Deloitte juga. Perusahaan-perusahaan yang gue daftarkan hampir nggak ada yang menjawab, baik "Selamat! Kamu lolos ke tahap selanjutnya!" maupun "Maaf, Anda terpaksa kami TOLAK". TOLAK, dengan huruf kapital. Email dan LinkedIn gue kering kerontang. Hari-hari gue deg-degan tiap ada logo Gmail di kolom notifikasi, tapi ternyata cuma duolingo (btw, gue kehilangan streak lebih dari 100 hari gue. Alasan lain untuk mutung dan marah-marah).

Intinya, gue seperti menggenggam buah simalakama, versi agak beruntung karena semoga nggak ada anggota keluarga yang kenapa-kenapa. Yang dipertaruhkan cuma karir dan masa depan gue aja.

6. Ini yang Seharusnya Diajarkan di Kidzania

Gue cuma pernah ke Kidzania dua kali. Yang pertama ketika gue umur 8 tahun, karena menang lomba drama paskah di gereja. Yang kedua ketika hampir 21 tahun. Waktu itu rame banget, pertama kali dibuka Kidzania untuk orang dewasa atau apa. Jadi bahkan di Kidzania, gue kesusahan cari kerja!

Kidzania bagus kalau kalian masih SD. Pekerjaan yang diperkenalkan adalah pekerjaan yang nyata, yang bisa dijelaskan kepada anak-anak umur 6 tahun. Dokter, dokter gigi, pemadam kebakaran, tukang salon, dan kuli.

Nggak ada penjelasan tentang mmm... Risk and Management Advisory, misalnya. Atau auditor. Atau situasi di mana lo ditawarkan seribu kidzos untuk pekerjaan menjadi tukang kretek-kretek pinggang, sementara yang lo inginkan adalah meneliti bakteri di stan yakult yang antrenya panjaaaang sekali, dan jam berkunjung lo tinggal setengah jam.

Nggak papa.


Yah, nggak papa. Nggak semua hal harus diputuskan sekarang. Mungkin lusa, kalau hasil offering letter gue sudah diminta kejelasannya oleh HR. Argh.

Comments

  1. Hai kak, artikelnya menarik. It resonates a lot with me. Setelah membaca, saya jadi penasaran, apakah kakak sekarang berhasil bekerja sebagai konsultan? I hope life takes you to the places you wish :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Kak! Aku sempet intern 3 bulan di konsultan, kemudian pindah ke NGO jadi researcher. Sekarang aku jadi Transport Analyst di lembaga riset independen :D

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts