Aksara
Kalau suatu saat nanti buku bisa bicara, aku kan menikahinya.
Buku—atau cerita—adalah hal paling magis di dunia. Pernahkah kamu
menemukan betapa anehnya
membaca? Mata manusia dapat menelaah dua puluh enam simbol yang berbeda, dan
mengkonstruksikan suatu skenario dalam pikiran, dan membuat suatu konsep dari
deskripsi mereka. Dan bagaimana konsep tersebut bisa mencampuradukkan emosimu
hingga kau tertawa dan menangis—membaca pasti merupakan salah satu hal paling
indah yang bisa kau lakukan.
Aku lebih ingat membawa buku daripada ponsel. Atau dompet. Aku
selalu membawa buku kemanapun. Sangat menyenangkan kalau di tempat
yang asing kita bisa ditemani buku-buku kita, begitu kata Mortimer Folchart
dalam buku Titenherz karangan Cornelia Funke.
Rasanya, sejak aku bisa membaca, hanya ada dua hari dimana aku
tidak membaca. Satu di hari setelah operasi usus buntu (aku alergi obat
biusnya—bayangkan. Mataku super bengkak hingga tidak bisa dibuka),
dan satu lagi di hari terparah ketika aku sekarat karena demam berdarah (dengan
trombosit 16.000—dimana manusia sehat memiliki 150.000-300.000).
Tapi bahkan di hari-hari tersebut aku membawa buku. Kalau kau
membawa buku dalam perjalanan, akan terjadi sesuatu yang aneh. Buku itu akan
menyimpan kenangan-kenanganmu. Nanti kau hanya perlu membuka buku itu lagi,
maka kau pun akan kembali berada di sana, di tempatmu membaca buku tersebut.
Bahkan sejak kata-kata pertama yang kaubaca, semua akan kembali di sekitarmu,
gambar-gambar, bau-bauan, es yang kau nikmati saat membaca buku itu…
Percayalah, buku itu jadi seperti kertas antilalat, menarik segalanya ke
dekatnya. Tidak ada yang bisa mengikat ingatan sebaik halaman-halaman yang
dicetak.
Buku-buku adalah suara yang kukenal, teman-teman yang tak pernah
bertengkar denganku, teman-teman yang kuat, berani, bijaksana. Bersama mereka
aku mengenal dunia, mengunjungi berbagai tempat jauh, mengalami petualangan. Beberapa
buku—seperti laut—adalah tempat yang begitu indah, namun menakutkan. Membuatmu
terseret begitu dalam.
Di luar masalah keimanan, hanya di dalam buku-bukulah terdapat
kasih sayang, kebahagiaan, keberuntungan… dan cinta. Buku-buku akan mencintai
siapapun yang membukanya, memberimu perlindungan dan persahababatan, serta
tidak menuntut apapun sebagai balasan.
Lepas dari itu semua, tidakkah menyenangkan memasuki du-nia yang
berbeda? Dimensi lain dimana segalanya begitu cerah dan magis.
Dan bukankah menakjubkan, mendapati sekumpulan huruf bisa
mencampuradukkan emosimu? Aksara yang membuatmu seketika merasa bahagia, beruntung bisa mendapatkan kesempatan
mengenal sesuatu sehebat itu. Aksara jugalah menimbulkan kesan sedih yang aneh
saat pertama kali selesai membacanya—sedih karena mengetahui akhirnya dan tidak
penasaran lagi, sedih karena merasa 'target' sudah terpenuhi. Rasanya puas,
lega, namun tidak juga. Seperti latihan berbulan-bulan untuk suatu konser dan
mengakhirinya malam itu. Puas? Ya, jelas. Tapi, hei! Kemana minggu-minggu penuh
perjuangan itu?
. . .Kadang-kadang, apa yang
kita rindukan bukanlah kemenangannya, melainkan perjuangan untuk meraih kemenangan itu
sendiri.
Pernahkah kau merindukan setiap kisah yang ada dalam bukumu? Yang
tidak bisa dipuskan hanya dengan membacanya kembali? Terpatri dalam benakmu, hal itu itu masa lalu. Kamu sedang mencoba
mendapatkan perasaan yang memudar, yang kau ingat bagaimana rasanya, tapi bukan benar-benar kau rasakan. Dan bagaimanapun kau
mencoba meraihnya, tetap tidak bisa.
Setengah diriku bertanya, benarkah?
Tidak! Kita punya imajinasi, imajinasi yang dapat membuat kita
meng-’obrak-abrik’ kisah ini sesuai dengan yang kita harapkan. Menyatukan yang
terpisah, membangkitkan yang mati. Mengingatkan kenangan, melawan realita.
Karena kisah-kisah ini ada. Pernah ada, dan memang ada. Karena kisah ini menimbulkan candu—dan rasa rindu.
Karena setiap kali kau kembali melalui halaman di buku atau layar di televisi,
kenangan akan selalu menyambutmu.
Pulang. Ke suatu dunia yang kita cintai. Dunia tanpa rasa hampa.
Dunia tempat kita perasa penuh. Bahagia. Terpuaskan.
Karena kisah itu akan selalu hidup. Karena meskipun tidak ada lagi
hal terbaru yang kita ketahui—pembaharuan dari kisahnya, bertambahnya umur
serta pengalaman dan kemajuan hidupnya—kisah ini terus berlanjut. Seperti yang
aku percaya, kisah ini terus berlanjut di dalam buku. Atas asas imajinasi,
siapa yang tahu apa yang terjadi setelah buku ditutup? Apakah manusia tahu
kalau huruf-huruf akan bergerak dan membentuk kisah lanjutan?
Di tempat yang tidak tercatat, tidak diketahui, di dalam
imajinasimu. Dalam tetes kehidupan tiap jiwa yang terkandung dalam aksara.
"Beberapa buku bisa kita coba,
beberapa bisa ditelan,
namun hanya sedikit yang bisa
kita kunyah lalu cerna dengan sempurna."
***
Comments
Post a Comment