Memoar
Liburan musim panas berlalu selembut tiupan angin,
dan bulan September menyambutku dalam keheningannya yang misterius.
Rasanya butuh waktu lebih dari selamanya untuk
melupakan waktu-waktu yang telah pergi, menggeliat keluar dalam nyamannya
memori.
Tapi, seperti biasa, tak ada meredam antusiasme kita.
Jiwa muda kami bagai menghasilkan sekumpulan energi untuk melesat lebih tinggi.
Bagaimanapun, linimasa ini takkan boleh kalah oleh
kenangan masa lalu.
Aku kembali melewati lorong-lorong yang kami tinggalkan
selama sebulan penuh, serta ruangan-ruangan bercahaya yang sempat redup—bersemangat
menyambut tahun ajaran baru.
Seminggu lamanya aku beradaptasi. Dengan kelas baru,
teman-teman baru, dan, yeah. Anak-anak ingusan yang menempati kelas kami yang
dulu. Juga, kenangan tentang alumni yang telah terbang mengarungi langit biru.
Ah, mereka telah pergi. Betapa rindunya aku dengan
tahun ajaran lalu.
Kesibukan anak-anak kelas sembilan membuatku sempat
melupakan kenangan masa lalu. Oh, aku begitu sibuk! Jadwal-jadwal tes
menari-nari, sementara tugas-tugas bertumpuk.
Tidak apa. Aku menikmatinya. Bagaimanapun, ini
waktuku. Waktu kita, tinggal sedikit, kalau boleh aku telaah dari sini.
Mungkin kamu bisa lihat, ini hanya kisah biasa.
Tapi aku menikmati hidupku.
Ya, tantangan selalu datang, tentu saja. Tapi aku
bisa meringkuk dalam nyamannya selimut persahabatan, yang selalu berkata,
“Aku selalu ada untukmu,” katamu. Tulus.
Dan aku tahu kamu tidak pernah berbohong.
Dan kamu selalu ada.
Aku menyayangimu, kamu tahu.
Kamu tidak pernah memberiku ekspektasi yang terlalu
tinggi. Kamu hanya menerimaku apa adanya, itu saja.
Kamu mengerti aku, aku mengerti kamu. Itu cukup.
Saling mengerti di antara anak-anak yang telalu kreatif dan penuh imajinasi.
Kamu menyayangiku, aku tahu.
Aku mengingat musim semi yang telah lewat. Ya,
merangkai bunga tulip menjadi mahkota serta menghirup udara pekat yang
terkontaminasi aroma bunga-bunga.
Betapa aku ingin kamu tahu, bahwa aku rela menukar
semua hartaku—kecuali kamu—untuk kembali ke masa-masa itu.
Aku ingat kita berebut memetik bunga-bunga
dandelion. Lalu kau meniupnya.
Ya, terbang.
Seperti masa lalu kita. Jauh, tidak akan pernah
kembali.
Tapi bibit-bibit dandelion itu akan tumbuh menjadi
bunga baru, kan? Menuai kebahagiaan baru, kan, bagi siapapun yang meniupnya?
Begitu pula kita. Kita lepas dari masa lalu, untuk
menyambut kebahagiaan baru.
Kita—aku dan kamu—menghadiri acara wisuda kita.
Wisuda menjadi anak remaja, tentu saja. Luar biasa,
kini kita telah menjadi pemudi-pemudi manis yang siap menuai prestasi!
Manis? Tidak juga.
Dilihat dari tingkah polah kita—bersembunyi di
eskalator dan menganggu tukang batagor—aku yakin perilaku kita tidak bisa
disebut manis sama sekali.
Namun, roda waktu terus bergulir dan kita semakin
dekat dengan kedewasaan.
Dan keajaiban belum berhenti di sana.
Dalam bayanganku, aku melihat kita dalam belasan
tahun mendatang, dalam versi yang lebih dewasa. Kita tetap sama, persis sama.
Aku masih mengenakan sweater biru pekat yang sama.
Kamu masih meloncat dalam sepatu boots andalanmu.
Dan meskipun kita menggandeng anak kami
masing-masing, kita tetap sama.
Alih-alih membayangkan kita duduk mengawasi
anak-anak kami yang sedang bermain—anakku perempuan dengan rambut coklat ikal
dan hidung mancung, sementara anakmu laki-laki dengan stamina yang tak ada
habisnya—aku membayangkan kita duduk di bianglala, di malam musim panas yang
sama.
Memakan kembang gula di malam musim panas yang sama,
melambai pada anak-anak yang tersenyum bahagia dalam pelukan ayahnya
masing-masing.
Ah, betapa aku ingin kembali ke masa-masa itu.
Masa-masa di mana kami masih duduk, terikat dalam keharusan menghafalkan
riwayat Nuh, Yunus, dan Abraham.
Bertukar cerita di bawah temaramnya malam.
Masa kanak-kanak kita. Oke, ralat, pra-remaja.
Perlahan, waktu mengalir menuju ke tempat hatiku
berada. Masa mendatang, yang penuh dengan kotak kejutan, siap meledak dan
menghantarkan jutaan emosi yang campur aduk melingkupi kita.
Kedewasaan.
Aku menantinya, sekaligus tidak ingin meninggalkan
masa sekarang.
Seperti tidak sabar menunggu musim gugur dan
daun-daunnya yang kering, meskipun tidak ingin meninggalkan musim panas yang
hangat dan penuh kenangan.
“Kamu baik-baik saja?” tanya kamu.
Aku mengangguk, menengadah menatap milyaran bintang
yang membentuk konstelasi.
“Apa yang kamu rasakan?” tanyaku, menoleh padanya
yang tersenyum damai.
“Aku takut akan masa mendatang,” aku dirimu.
“Kedewasaan, kamu tahu. Suatu saat di masa mendatang, kita tidak bisa bertemu
sesering ini, dan akan diganggu oleh bayi-bayi yang menangis dan suami-suami
yang mengeluh mengapa kemeja kerja mereka belum disetrika.”
Aku mengangguk.
“Apa yang kamu rasakan?” kamu berbalik menanyaiku.
“Aku juga takut akan masa mendatang,” kataku. Lalu
suatu pemikiran mencuat masuk dan membuat isi kepalaku berjumpalitan. “Tidakkah
kamu bersyukur kita menyadarinya sekarang? Bahwa tahun-tahun ini lewat secepat
kedipan mata? Aku bersyukur kita tahu bahwa hari itu akan datang. Kita bisa
menikmatinya, kamu tahu.”
“Jadi?” katamu.
“Aku merasa bahagia sekali.”
Aku tersenyum, dan kamu balas tersenyum.
Dan musim panas tahun-tahun berikutnya akan kembali
datang, kembali membuatku takjub dengan sihirnya yang ajaib.
***
Comments
Post a Comment