Yth. YM, di Tempat
Halo.
Entah bagaimana kabarmu di sana. Jogja, ya? Bagiku, aku menganggap kabar baik dan buruk seseorang yang... asing, dengan baik berarti hidup dan buruk berarti mati.
Sesederhana itu.
Bila kamu orang asing.
Dan, apakah kamu...?
Tidak. Seburuk apapun... apapun yang terjadi di antara kita—yah, seburuk apapun ini semua, aku tidak akan pernah menempatkanmu di luar lingkaran kepedulianku, tahu? Mengertikah? Kamu penting. Kamu mata rantaiku dengan masa lalu. Dan setahuku, aku juga penting. Bagimu.
"Tapi kamu tidak," katamu, melalui segalanya desau angin membisikiku. "Kamu tidak penting."
Yah.
Mau tahu suatu hal? Aku tidak peduli.
Yang penting kamu ada. Ini salah, karena membiarkanmu di sini dan mengacaukan orientasiku—entah. Bagian kecil dalam kepalaku bergumam-gumam, biarkan dia pergi, katanya. Biarkan dia pergi, dan hiduplah sebagai... kini.
Dan bisa kautebak apa yang kulakukan... lagi? Aku memberimu senjata. Aku membangun benteng pertahananku, menara ivoriku hingga jemariku berdarah dan giligiku berkeretak.
Lalu aku memberikanmu kuncinya. Peta untuk masuk ke dalam.
Ini... ini luar biasa bodoh. Aku bukan ahli strategi perang abad pertengahan yang baik, tapi... amatiran seperti mereka pun tahu ini tindakan yang mengedepankan tindakan bodoh. Impulsif. Nekat.
Dan karena itu, aku berusaha menyelamatkan harga diriku sendiri.
Aku... aku akan merasa terhina, bila bahkan saat aku memberimu akses untuk menyabotase segala yang kususun setengah mati, kamu tidak mau, Bukan ingin bersikap jujur atau apa. Kamu hanya tidak tertarik.
Jadi, dalam upaya (semoga tidak) sia-sia yang kulakukan, aku menghapus beberapa peraturan dan prinsip.
Kini, aku tidak peduli kamu menganggapku penting atau tidak, aku tidak peduli apakah aku mengikatmu dengan segala sesuatu yang terjadi di zona nyamanmu. Aku peduli padamu, wahai Mata Rantai yang agung, namun, yah... sebetulnya aku tidak mau tahu apakah kamu menganggapku sama.
Aku membangun bentengku, memberimu kata sandi. Lalau terderah padamu. Bukan urusanku lagi.
Begitu.
Eh, begitu, kan?
Yah, intinya seperti itu. Aku memiliki kepersuasifan tingkat tinggi, Mata Rantai. Aku bisa membohongi diriku. Aku bisa membohongi diriku, bahwa kamu masih sama, terlepas urusan peduli-tak-peduli tadi. Bahwa tidak ada yang berubah—kita masih teman dan kita tetap akan bertemu setiap Jumat malam. Bahwa aku tidak membobol bentengku sendiri. Aku masih dengan seragam kotak-kotak hijau dan rok krem lipit dua. Kamu, dengan atasan batik biru tua. Apa bedanya? Semuanya sama, aku yakin. Seyakin aku pada eksistensi oksigen, neraka, dan diriku sendiri.
Kita masih sama.
Kita. Masih. Sama.
Kita... masih... sama... harus begitu. Harus. Harus. Kau mendengarku? Harus. Kita harus seperti dulu. Tidak bisa ditawar lagi.
Tidak bisa.
Entah bagaimana kabarmu di sana. Jogja, ya? Bagiku, aku menganggap kabar baik dan buruk seseorang yang... asing, dengan baik berarti hidup dan buruk berarti mati.
Sesederhana itu.
Bila kamu orang asing.
Dan, apakah kamu...?
Tidak. Seburuk apapun... apapun yang terjadi di antara kita—yah, seburuk apapun ini semua, aku tidak akan pernah menempatkanmu di luar lingkaran kepedulianku, tahu? Mengertikah? Kamu penting. Kamu mata rantaiku dengan masa lalu. Dan setahuku, aku juga penting. Bagimu.
"Tapi kamu tidak," katamu, melalui segalanya desau angin membisikiku. "Kamu tidak penting."
Yah.
Mau tahu suatu hal? Aku tidak peduli.
Yang penting kamu ada. Ini salah, karena membiarkanmu di sini dan mengacaukan orientasiku—entah. Bagian kecil dalam kepalaku bergumam-gumam, biarkan dia pergi, katanya. Biarkan dia pergi, dan hiduplah sebagai... kini.
Dan bisa kautebak apa yang kulakukan... lagi? Aku memberimu senjata. Aku membangun benteng pertahananku, menara ivoriku hingga jemariku berdarah dan giligiku berkeretak.
Lalu aku memberikanmu kuncinya. Peta untuk masuk ke dalam.
Ini... ini luar biasa bodoh. Aku bukan ahli strategi perang abad pertengahan yang baik, tapi... amatiran seperti mereka pun tahu ini tindakan yang mengedepankan tindakan bodoh. Impulsif. Nekat.
Dan karena itu, aku berusaha menyelamatkan harga diriku sendiri.
Aku... aku akan merasa terhina, bila bahkan saat aku memberimu akses untuk menyabotase segala yang kususun setengah mati, kamu tidak mau, Bukan ingin bersikap jujur atau apa. Kamu hanya tidak tertarik.
Jadi, dalam upaya (semoga tidak) sia-sia yang kulakukan, aku menghapus beberapa peraturan dan prinsip.
Kini, aku tidak peduli kamu menganggapku penting atau tidak, aku tidak peduli apakah aku mengikatmu dengan segala sesuatu yang terjadi di zona nyamanmu. Aku peduli padamu, wahai Mata Rantai yang agung, namun, yah... sebetulnya aku tidak mau tahu apakah kamu menganggapku sama.
Aku membangun bentengku, memberimu kata sandi. Lalau terderah padamu. Bukan urusanku lagi.
Begitu.
Eh, begitu, kan?
Yah, intinya seperti itu. Aku memiliki kepersuasifan tingkat tinggi, Mata Rantai. Aku bisa membohongi diriku. Aku bisa membohongi diriku, bahwa kamu masih sama, terlepas urusan peduli-tak-peduli tadi. Bahwa tidak ada yang berubah—kita masih teman dan kita tetap akan bertemu setiap Jumat malam. Bahwa aku tidak membobol bentengku sendiri. Aku masih dengan seragam kotak-kotak hijau dan rok krem lipit dua. Kamu, dengan atasan batik biru tua. Apa bedanya? Semuanya sama, aku yakin. Seyakin aku pada eksistensi oksigen, neraka, dan diriku sendiri.
Kita masih sama.
Kita. Masih. Sama.
Kita... masih... sama... harus begitu. Harus. Harus. Kau mendengarku? Harus. Kita harus seperti dulu. Tidak bisa ditawar lagi.
Tidak bisa.
Selena Hallucigenia
Comments
Post a Comment