Adulting 101: London, London, Ingin Ku Ke Sana~ (Bagian 1)
Dan gue beneran sampe London.
![]() |
okay turis |
Lamaaaa sekali tidak berjumpa! Hiatus ini terjadi karena gue mulai kerja, resign, pindah kerja, dan pindah negara—dan mulai menulis di medium juga. Alhamdulillah puji Tuhan, November 2023, gue diberikan kesempatan untuk sekolah di London dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan.
Klise, sih, tapi seumur-umur, gue selalu tahu gue mau pergi S2 di luar negeri (kecuali dalam periode singkat pascaskripsi di mana gue TRAUMA melakukan riset). Dan sama seperti UI serta berbagai hal lain yang gue inginkan setengah mati, yang ini juga harus diperjuangkan sampai mampus.
Cerita ini dimulai dari bagaimana gue menemukan passion gue. Tahun 2019, ketika gue baru putus dan jadi sinting, gue memutuskan untuk upgrade diri! Menunjukan pada dunia bahwa aku wanita independen yang bisa apa saja! dengan menjadi PO CENS (Apa itu CENS dan bagaimana perjuangan gue di dalamnya bisa dilihat di sini.
Untuk menjadi PO CENS, tentu gue dan tim gue perlu menentukan tema besar konferensi ini. Setelah brainstorm, kami came up dengan tiga pilihan tema: Transport aka Smart Mobility, Land Subsidence, dan Construction Resilience. Gue pilih transport karena menyadari bagaimana transportasi menentukan dan ditentukan oleh sangat banyak aspek kehidupan kita sebagai masyarakat perkotaan. Kami pun deep dive di dalamnya, dan menyadari
eni yang gue cari selama ini.
Transport adalah ikigai gue! Sweet spot dari apa yang (kayaknya) gue bisa lakukan, dibutuhkan bangsa yang besar Indonesia, dan menghasilkan duit yang banyak (kalo dapet kerja).
Setelah kira-kira 2 tahun terombang-ambing di dunia sipil yang gue gak suka-suka banget, akhirnya gue sadar kalo gue sukaaaa banget sama topik ini. Meski kalah dari bidding CENS, gue tetap mengambil mata kuliah pilihan yang berhubungan dengan transport, lomba tentang transport, dan bahkan skripsi tentang transport. Puji Tuhan lomba transport yang kami (gue, Bastian, dan Radifan) ikuti berhasil kami menangkan, dan gue berkesempatan magang di Institute of Transportation Development and Policy (ITDP) Indonesia.
Intinya gue transport banget men.
Tapi setelah lulus, ternyata susaaaaah banget cari kerjaan yang ada hubungannya dengan transportasi, apalagi kalo lo: 1) lulusan S1, 2) dari Teknik Sipil pula, bukan Perencanaan Wilayah Kota yang lebih nyambung, 3) tinggal di negara yang gak peduli-peduli banget sama well-being rakyatnya. Perjuangan gue cari kerja (yang cocok) bisa dilihat di sini, di mana gue menolak tawaran kerja MT di BCA (yang tinggal tanda tangan itu) karena kontraknya yang tiga tahun, sementara gue ngebet pengen S2 dua tahun setelah lulus.
Setelah melalui 3 bulan intern di manajemen konsultan (eugh), sahabat gue, Alex, menawarkan lowongan kerja Transport Researcher di sebuah NGO lokal. Tugas utama gue adalah meriset bagaimana dampak lingkungan dari adopsi kendaraan listrik: mulai dari industri nikel yang ekstraktif, proses pemgolahannya yang nggak berkeadilan, sampai bagaimana end-product-nya (EV itu sendiri) nggak bisa diakses kaum menengah dan gak ngefek-ngefek amat sama reduksi emisi karena sumber listriknya masih dari PLTU.
Little did we (Alex and I) knew, periode itu menjadi salah satu periode paling SINTING dalam hidup kita. Gue susah menceritakannya, tapi bos gue bener-bener butuh pertolongan profesional dan bikin kita semua menil (aka mental illness). Puji Tuhan-nya, gue dikasih coworker yang baik-baiiiik banget. Selain baik, mereka juga cakep, lucu, visioner, dan SJW (alias top tier checklist teman yang gue cari). Dalam menghadapi bos gila gue, kami makan siang bersama, trauma dump, dan saling berbagi rekomendasi psikolog.
Di kantor yang terdiri dari maksimal 8 orang ini, gue menjadi pemimpin dan anggota satu-satunya divisi urban transport. Jadinya, meski seluruh proyek gue kerjain sendirian, gue juga yang menentukan KPI-nya. Dan gue terlalu hilang arah dan minim teman diskusi untuk mengatur KPI yang tinggi, menjadikan gue kerja sekadarnya dan punya banyak waktu luang (sori😭).
Gue pun mulai cari-cari kembali soal S2 ini. Sebenernya gue selalu tau sih, gue mau S2 apa dan di mana. Transport and City Planning UCL.
Tapi gue sadar betuuuul tidak mungkin bisa kuliah tanpa beasiswa. Tuition fee UCL untuk mahasiswa internasional sekitar Rp750 juta per tahun (kuliahnya memang hanya setahun), itu di luar biaya hidup bulanan, tiket pulang pergi, visa dan asuransi, etc-etc. Kalo dihitung-hitung, gue butuh 1.5 M untuk hidup setahun di sana. Keluarga gue bayar UKT 6.5 juta per semester aja gak sanggup.
Gue pun mencoba LPDP, dan untuk itu harus punya alasan kuat, yakni 1) mengapa negara ini harus membiayai gue 1.5 M untuk gue sekolah, 2) mengapa harus UCL, dan 3) apa yang bisa gue kasih kembali kepada negara ini. Tiga alasan ini diungkapkan dalam sebuah esai 2000 kata, yang disertai dengan nilai IELTS dan surat rekomendasi dosen.
Cara termudah untuk membuat esai adalah dengan mencari masalah apa yang ada dan bagaimana lo, setelah lulus dari kampus pilihan lo, menyelesaikannya. Gue yang hari-hari commuting 3 jam (untuk kerja di Jakarta Selatan, yang mana rumah gue JUGA DI JAKARTA SELATAN) punya cukup banyak bekal untuk ✨misuh-misuh akademis✨ di esai tersebut. Intinya gue mengatakan bagaimana Jakarta tidak dibangun dengan tata kota yang sesuai, dan apabila kita betul-betul mau pindah ibu kota, baiknya jangan mengulangi kesalahan yang sama. Esai gue terdiri dari 3 bagian: 1) berakar (bagaimana gue menemukan masalah serta apa yang gue alamo selama ini) 2) bertumbuh (kampus mana saja yang ingin gue incar, dan apa rencana gue di kampus tersebut), 3) serta berbuah (apa rencana kontribusi gue dalam bentuk rencana jangka pendek, menengah, dan panjang).
Untuk kenapa gue pilih Transport and City Planning UCL, itu karena 1) gue males belajar bahasa baru, 2) Inggris negara yang public transportnya ok banget, 3) TCP ini masuk ke dalam Fakultas Bartlett School of Architecture and Built Environment, yang mana merupakan sekolah arsitektur dan perencanaan terbaik SEDUNIA. SEDUNIAAAAAA.
Paralel dengan menyiapkan esai, gue juga latihan IELTS. Gue sempet les di IALF, memang, tapi lesnya nggak terlalu membantu karena masih fokus mengajari murid lain (😭). Gue latihan sendiri untuk writing selama 3 minggu: setiap hari menulis 1-3 tulisan di kantor. Gue latihan speaking di gojek atau kamar mandi sambil komat-kamit. Tiga hari sebelum tes, Nadya mengirimkan tautan buku Cambridge, yang bentuk soalnya sama persis dengan soal reading dan listening IELTS yang asli.
Apakah gue serajin itu kerja full time sambil menyiapkan esai dan IELTS?
Ya nggak lah!
Semuanya gue kerjain di kantor. SEMUANYA. Gue sampai kantor jam setengah 10, makan cireng, lalu latihan IELTS. Kemudian gue makan siang dan trauma dump, lalu riset (kerja sebentar) dan menulis esai. Kebetulan kerjaan dan esai gue kan berhubungan.
Tapi kerja gabut ini juga ada (banyak) down side-nya. Saat itu, gue nggak merasa gue se-stress itu, sih, karena teman-teman gue baik, gaji gue ok, dan gue punya tujuan (lol iykyk gue kalo ga punya hal yg dikejar bakal sedepresi apa). Tapi kemudian gue migraine nonstop selama seminggu, disusul dengan kepala berputar dan muntah-muntah setiap hari. Setiap dibawa ke rumah sakit (dengan BPJS karena kantor ini nggak menyediakan asuransi swasta), dokter nggak menemukan apapun yang salah. Gue sampe MRI, CT SCAN, dan EEG (ada anomali sedikit dalam bagaimana aliran listrik di otak gue berjalan katanya, dan gue harus minum obat seumur hidup). Tapi intinya gue gak kenapa-kenapa kecuali STREEESSS. Stres BERATTTTTT. Periode ini berlangsung selama 1.5 bulan.
Dan sebelum kalian bilang gue lemah, coworker gue yang lain ada yang asma berbulan-bulan karena stres (dan polusi juga sih). Ada yang develop anger issue dan bolak-balik ke psikolog juga. Soal anger issue, gue juga berasa jauh lebih mudah marah selama kerja di sini sampai pernah ajak ribut supir angkot. Lagi, DAN sebelum kalian bilang gen z lemah, ada bapak-bapak yang masuk kantor, dan resign setelah SEHARI bekerja. Saking sintingnya.
Anyway, setelah sakit fisik dan mental, gue pun tes IELTS. Gue menyadari privilege gue (lahir dan besar di Jabodetabek, sekolah swasta yang bagus, kuliah di UI), tapi batas nilai terendah untuk masuk Bartlett (sekolah arsitektur dan built environment UCL) lumayan tinggi. Lagi-lagi Tuhan menjaga gue, dan memberikan soal writing IELTS yang mampu gue tackle, soal urbanisasi! Gue jadi bisa bacot soal gentrifikasi dan urban sprawling—menggunakan kata-kata akademis yang bikin gue keliatan pinter. IELTS gue 8.0 (dan expired bulan ini OH NOOOO).
Selesai mengumpulkan berkas administrasi (IELTS, esai, surat rekomendasi, dan perintilan lainnya), gue kembali sibuk kerja. Kali ini gue beneran mengejar ketertinggalam selama sakit dan belajar IELTS. Di waktu yang sama, gue bolak-balik lamar kerjaan baru (nggak dapet) dan saling share loker dengan sesama teman kantor. Kehilangan tujuan lagi sementara menunggu hasil seleksi administrasi, gue ikut sayembara menulis tentang transisi energi yang akan diseleksi dan disunting oleh dosen antropologi UI yang mantep banget itu, Geger Riyanto.
Gue lolos seleksi administrasi per Juli 2024. Gue pun kembali dengan rutinitas lama latihan untuk seleksi bakat skolastik. Sistem di LPDP, ada tiga tahap: seleksi administrasi, seleksi bakat skolastik, dan seleksi substansi (wawancara). Lo bisa melewati seleksi bakat skolastik kalau lo sudah punya Letter of Acceptance, unconditional, dari kampus pilihan lo. Gue belum punya, karena periode pendaftaran UCL kan dari Oktober (2022) hingga April (2023) untuk intake September 2023. Untuk intake September 2024, persis 2 tahun dari kelulusan gue di September 2022, pendaftaran Oktober 2023 belum dibuka. Gue pun memotret latihan soal buku TPA Bappenas dari Gramedia (sori kriminal gue rada miskin😭).
By the way, salah satu hal yang menurut gue stand out dari esai gue adalah bagaimana gue udah tau (pada saat itu) mau riset soal apa, siap dosen pembimbingnya, dan gunanya untuk Indonesia apa. Meski sekarang beda jauh dari topik tesis gue sih. Untuk mengonfirmasi hal tersebut, gue tentu harus conference call dengan dosen terkait.
Inget cerita buku transisi energi bersama Geger Riyanto? Gue menemukan tulisan yang cocooook banget dengan apa yang gue mau tulis, dan ternyata penulisnya Robin Hickman, course coordinator Transport and City Planning UCL! Dengan email yang tertera di tulisan itu, gue pun menghubungi bagaimana gue suka akan risetnya, ingin membaca lebih lanjut (tapi gak bisa karena bayar, lol), dan mungkin ingin sekolah di TCP UCL tahun depan.
Gila, Tuhan hebat banget. Semua hal fell into places. Saat itu gue gak paham, apalagi karena gue ended up melakukan conference call sama Robin di kantor polisi karena nemenin nyokap gue yang ketipu (HADEEEEH), tapi setelah waktu berlalu dan gue bisa melihat dari helicopter view, semuanya seperti potongan puzzle yang pelan-pelan kelihatan gambarnya. Tuhan taro gue di tempat sinting ini supaya gue kenal teman-teman gue, mulai riset transport secara mandiri, tahu sayembara transisi energi Geger Riyanto, dan ketemu ROBIN HICKMAN.
![]() |
(Spoiler dari Jemi Mei 2025: sekarang gue piknik di Russel Square dan kami semua dibeliin Magnum sama Robin. God is GOOOD). |
Kembali ke cerita, setelah lulus seleksi bakat skolastik, gue melanjutkan ke seleksi substansi alias wawancara, tahap yang paling banyak menyeleksi calon penerima beasiswa LPDP! Bagian ini agak tricky karena kerjaan gue lagi sibuk-sibuknya (buah dari gak kerja selama berbulan-bulan lol). Gue lagi banyak travel: ke Bandung, Surabaya, Semarang, untuk riset dan berjejaring dengan komunitas transport terkait. Jadi gue baru menyiapkan wawancara dengan serius seminggu sebelumnya.
Gue bimbel(?) wawancara sama sebuah lembaga yang berbayar (aneh juga karena kan seharusnya lo memberikan ilmu ini dengan cuma-cuma). Kakak mentor ini memberikan banyak pertanyaan yang harus gue siapkan jawabannya, dan kami melalui tiga sesi mock up interview.
Bulan Oktober datang. Hari-H wawancara lebih kayak hari penyucian dosa dibanding interview. Alih-alih ditanya hal normal seperti pengalaman kerja atau kenapa pilih UCL, atau hal-hal yang bisa gue pamerkan (“saya sudah zoom call dengan calon pembimbing tesis saya😎 segitu SIAPNYA saya menerima LPDP ini😎”), gue ditanya hal-hal aneh dan dikata-katain. Gue dituduh ingin mendapatkan LPDP demi kepentingan asing (mentang-mentang gue kerja di NGO), “ngapain sok riset di luar negeri kalo di dalam negeri aja belum ada produk risetnya”, sampe yang paling aneh, “kamu nggak punya pendirian ya, pilih Transport AND City Planning? Kenapa nggak Transport saja atau City Planning saja?”.
Gue marah banget abis wawancara dan menangis 2 jam. Kemudian gue check out tas kanken dari uang hadiah sayembara transisi energi Geger Riyanto. Well.
Akhir Oktober, gue sebagai satu-satunya anggota tim urban (😭) mewakili kantor aneh ini ke acara Antiekstraktivisme. Acara ini semacam conference dengan peserta dari seluruh kalangan, dari seluruh dunia (gue berkenalan dengan pengacara hukum lingkungan dari Kanada, ibu-ibu pemimpin serikat buruh dari Indonesia, dan mantan pekerja tambang dari Rwanda). Ada hari dengan berbagai focus group yang bisa dipilih sendiri. Gue diberi kesempatan untuk presentasi mengenai bagaimana EV yang digadang-gadabg menjadi solusi krisis iklim, yang proses pembuatannya membutuhkan lebih banyak tambang dan smelter nikel, justru lebih banyak mudharatnya, terlebih bagi warga asli di Morowali dan Weda. Presentasi ini gue pamerkan abadikan di LinkedIn.
Di bulan-bulan ber-ber-ber ini, sahabat gue Alex yang memperkenalkan kantor ini ke gue resign dan pindah ke NGO sebelah. Ini jadi periode yang SUPER SETRES bagi kami semua, karena bos gue yang gila ini menguntit Alex dan bos barunya sampai ke kantor mereka, menyindir-nyindir di grup besar isi semua NGO, dan marah-marah setiap hari di kantor. Kami malu banget setiap ikut acara yang melibatkan dua kantor ini. Salah satu coworker kami yang risetnya tentang tambang nikel juga diancam dituntut oleh perusahaan tambang tersebut. Untuk mengurai ketegangan, bos gue memutuskan untuk membuat acara ✨healing✨ di… Pengalengan? For some reasons? As if anyone could heal with him being within 1 kilometers away.
Hari outing Pengalengan tersebut terjadi di hari yang sama dengan pengumuman LPDP. Distraksi yang bagus banget, karena apa yang lebih baik daripada main arung jeram dan ATV sebelum membuka pengumuman hidup dan mati lo?
Malam setelah puas main di sungai, gue dan teman-teman senasib sepenanggungan ini lagi main-main di salah satu tenda (iya, kami glamping di sini). Tiba-tiba notifikasi muncul, pengumuman LPDP udah keluar! Reza keterima!
Rasanya gue teleportasi ke ruangan lain—suara temen-temen gue jauuuuh dan menggema. Gue gemetar membuka tautan LPDP berkali-kali, entah sinyal Pengalengan khusus Telkomsel atau apa, tapi websitenya crash terus. Gue memberanikan diri membuka lewat Safari, kali ini nggak ada Nafisa yang akan membukakan hasil pengumuman gue.
Dan seperti yang kalian tau, gue lolos.
“Gaes, gaes,” gue memanggil teman-teman gue yang lagi sibuk main truth or truth, “aku punya kabar baik.”
“APATUUUH???”
“Aku lolos LPDP, huhuhuhu.” Gue nangis. Aura mengeluarkan hpnya. Mba Cin memeluk gue. I felt so loved. Semuanya kayak… lengkap. Gue membuka pengumuman ini bersama dengan orang-orang yang menemani (atau ngeliatin) perjuangan gue berbulan-bulan, menahan penderitaan kantor toxic bersama-sama, bertumbuh sama-sama.
Mba Cin secara hati-hati mengirim pesan WhatsApp ke Alex, yang lagi proses seleksi LPDP juga (Alex kan sudah resign, jadi nggak ikut outing ini). Alex juga LOLOS! Jadilah kami berdua sepasang sahabat luar biasa yang ajan menaklukan London dan New York.
Setelah itu hidup rasanya kayak melayang. Semua hal jadi lucu dan menyenangkan, gue bahkan nggak bete ketika bos gue nyamperin kita dan minta ikutan main. Sekuens hidup terasa seperti mimpi demam: membesar mengecil, nyata tidak nyata. Mungkin ini yang paling dekat dengan sensasi nyimeng. Rasanya gue bisa mencapai apa saja di dunia ini.
Ternyata hidup bisa lebih baik lagi. Rasanya kayak Tuhan membalaskan semua penderitaan dan sakit penyakit gue di kantor ini di bulan November 2023. Ketika gue lagi akur-akurnyaaa, lagi sayang-sayangnyaaa sama temen-temen kantor gue, gue dapet message dari kantor incaran gue. Kantor yang udah gue daftarkan lebih dari 5 kali sejak masih kuliah: salah satu pionir transisi energi. Rupanya, salah satu manajer kantor ini melihat postingan LinkedIn gue soal acara antiekstraktivisme dan presentasi gue tersebut, tertarik dengan bidang niche ini, dan menawarkan lowongan kerja! Gue masih harus interview, tentu saja, tapi gue bisa melewatkan rangkaian presentasi dan studi kasus dan esai yang mumet puol itu.
Meski dimulai dengan pertanyaan “Coba ceritakan permasalahan nickel supply chain yang kamu tahu” (alias buset), ada pertanyaan yang lebih BUSET lagi waktu interview masuk kantor baru: “Kamu punya rencana S2?”
“Punya.”
“Kapan?”
Wah? “Dalam waktu dekat.”
“Kapan tuh dalam waktu dekat?”
“Sebenernya saya udah keterima LPDP sih Bu, rencana berangkat September 2024.” Mind you, ini bulan November 2023. Kalau mereka merasa gue nggak worth it karena akan kerja kurang dari setahun, ya sudahlah. Sampai Agustus 2025, take it or leave it. I live for London anyway.
Anehnya, gue diterima :/ Justru mungkin gue diterima karena itu: mengingat seluruh anggota tim gue lulusan S2 di UK dan Belgia. Yang bikin rumit, gue harus masuk secepatnya. Sementara gue harusnya two months notice dari kantor ini (mengingat gue satu-satunya anggota tim urban kan😭). Gue juga terlalu pengecut untuk bilang alasan aslinya, yakni gue diterima di kantor yang seratus kali lebih baik! Gue takut bos gue akan mengamuk di forum NGO se-Indonesia, lalu kantor baru gue merasa gue nggak cukup worth it untuk dipertahankan atau memilih menjaga hubungan baik, dan nggak jadi meng-hire gue.
Semoga bos lama gue nggak baca ini, tapi akhirnya gue berbohong😭.
Gue bilang gue diterima LPDP, tapi IELTS gue nggak cukup untuk masuk UCL (bohong). Untuk itu, gue akan masuk Kampung Inggris (bohong), dan akan pergi ke Pare… effective immediately bulan Desember.
Gue gemeter banget ketika menyerahkan surat resign. Lebih daripada takut ketahuan bohong, gue lebih takut jatuh kasihan dan nggak jadi resign. Hubungan kami para staff dengan bos kami ini memang complicated be ge te (banget). Gabungan benci (benci luar biasa sampai kami hampir menyebar nomornya sebagai iklan sedot WC) dan kasihan. Kasihan si bos hidup sebatang kara sendirian. Kasihan kepada ART yang akan kami tinggalkan dan menanggung abuse ini sendirian. Merasa bersalah juga karena gajinya oke dan kerjanya ringan. Marah karena nggak seharusnya gue diperlakukan sebegini kacau. Kasihan karena kantor ini adalah kesempatan kedua si bos dalam kehidupan. Merasa lemah karena masa sih gini doang gue resign? Merasa bersalah karena bagaimanapun, kantor ini yang memberangkatkan kami ke berbagai konferensi mewakili kantor (orangnya gak sampe 10, jadi yaaa kami lagi kami lagi gitu loh yang berangkat). Rasa bersalah karena meninggalkan teman-teman. Merasa lemah karena banyak orang yang butuh lebih banyak pekerjaan.
Perasaan yang sangat kompleks dan membayangi gue setiap hari selama berbulan- bulan, maju mundur mau resign, dan menderita stockholm syndrome.
Ketika akhirnya bos gue percaya dan melepas gue dengan berat hati (gue bersiap-siap mengedit foto gue di Kampung Inggris, Pare, pakai photoshop kalau-kalau diminta buktinya), gue pun… bebas. Akan melakukan filler episodes berupa kantor baru, yang juga sama menyenangkannya, sebelum akhirnya bisa pergi ke London!!!
Mungkin ini yang paling dekat dengan sensasi nyimeng T______________________T.
ReplyDeletePostingan ini begitu hidup dan ramai, tolooooong bgt terus menulis keseruan dlm hidup kakak krn bacanya seru BGT ((lovingly))