404 Sense of Purpose Not Found
Iya, dua hari lagi gue ujian kenaikan kelas, tapi bukannya belajar (atau seenggaknya, ngelanjutin post tentang X MIA 4), gue malah blogging. Bukan yang seru-seru, tapi buat curhat-curhat bngst karena gue gatau gimana caranya cerita ke temen-temen gue soal beginian.
Senin, gue UKK Kimia, Agama, dan Bahasa Prancis. Dan hati gue (maupun badan gue) sama sekali tidak tergerak buat ngambil buku, bahkan buat ngeload foto-foto soal di grup kelas : ( Karena, buat apa? Entah kenapa hal-hal yang dulu gue anggap penting udah nggak penting lagi. Gue ngerasa kalo gue ngelupain tujuan-tujuan kecil gue (seperti mendapatkan nilai kimia yang at least di atas KKM) udah nggak penting lagi. Skala prioritas gue amburadul.
APAKAH INI PESAN DARI TUHAN BAHWA GUE SEBENERNYA PEMEGANG KUNCI KESELAMATAN DUNIA??!!? BAHWA GUE HANYALAH PION TAKDIR DAN KESELURUHAN HIDUP GUE HANYALAH KEBOHONGAN SEMATA?!!?!
Nggak, jelas nggak. Gue cuma kehilangan tujuan dan ambisi. Entah kehilangan atau selama ini gue emang nggak punya.
Selama ini, gue mendapatkan (hampir) segala sesuatu yang gue inginkan tanpa susah payah. Gue pernah menang lomba menulis nasional hanya karena gue gabut dan iseng-iseng nyoba, dengan usaha sebesar duduk manis di depan laptop selama satu setengah jam. Gue masuk sekolah favorit tanpa bener-bener usaha macam bimbel sampe malam dan beli buku-buku latihan soal (dan mengerjakannya). Selama SMP, nilai gue yang bagus bermodalkan dengerin guru sambil ngayal, plus narik-narik tangan temen lima belas menit sebelum ulangan buat minta diajarin (dan les Bu Roh, tapi di sana pun kerjaan gue cuma ngutang).
Bagaimana dengan kegagalan-kegagalan gue? Gue nggak melihat itu sebagai kegagalan. Bukan kayak quote-quote motivatif di OA line bahwa kegagalan itu awal kesuksesan. Bukan sama sekali. Lebih ke... apa ya? Setelah gue gagal, I found out that I don't really want them. Kalah lomba? Remed? Ya terus, kenapa? Toh nggak sering terjadi, dan kalo gue pikir-pikir... gue nggak terlalu pengen, kok. No loss at all.
Tapi, itu dulu.
Sekarang, gue masih menerapkan "pengen dikit-dikit, usaha kalo perlu" tapi kayaknya nasib mulai capek sama ketidaktahudirian gue. Nilai gue jelek, gue kalah di banyak lomba, dan serangkaian kemalangan lainnya.
Kalo lo tanya apa yang gue rasain... ya, gue sedih, tapi sedih yang y a u d a h. Gue gagal, terus... yaudah. Gue sedih tapi gue nggak punya ambisi buat nyelesain ini semua dengan baik. Gue punya banyak ide, tapi gue nggak punya alasan untuk mewujudkan mereka.
Tapi yang ngeselin adalah, gue peduli.
Gue boleh jadi nggak punya ambisi, gue boleh jadi mager-mageran bahkan hanya untuk nafas (nyaris literally), tapi gue peduli sama hal-hal yang akan datang di depan gue.
Gue belum pernah cerita tentang classmate gue yang satu ini, kan? Namanya Nicholas. Menurut pengamatan gue, dia super cuek sama segala sesuatu yang bukan passionnya. (ralat aku bila ada kesalahan, gaes).
Dia tidur di kelas, jarang dengerin guru, super nyantai bahkan ketika ulangan, dan hasilnya dia, ya... pasti nggak sebagus yang berusaha. Tapi dia nggak peduli. Jadi, ya, he got what he deserves and he didn't mind it. (sekali lagi, ralat gue, oke?)
MASALAHNYA GUE PEDULI, ASOE. *flips table* GUE NGGAK MAU TAPI GUE PEDULIIII
Dan gue rasa, dia nggak peduli pun sama hal yang memang BUKAN passionnya. Sementara gue? Gue nggak punya keinginan, tapi gue juga nggak bisa gagal karena bisa aja hal itu jadi passion gue di masa depan dan kegagalan kecil gue di masa kini akan sangat mempengaruhi masa depan gue. Gue peduli sama masa depan gue.
Tapi yang ngeselin (lagi) adalah, kepedulian gue nggak cukup untuk menggerakkan gue.
Kayak waktu itu, misalnya. Gue nggak pernah merhatiin atau nyatet di pelajaran fisika. Dan gue kira semua orang kayak gitu karena SIAPA SIH YANG PEDULI SAMA LENSA-LENSA KEPARAT INI HAH. SIAPA.
Karena itulah, gue langsung berseru "Wah, ambis, lu, Mi!" pas ngeliat Ismi nyatet.
Dan langsung disergah sama Nafisa, "bukan Ismi yang ambis, woy. Lunya aja yang nggak punya ambisi sama sekali."
Itu kali pertama gue mikir kalo, gue bukan kehilangan tujuan, Kawan. Memang gue nggak punya tujuan dari awal.
Hampir dua minggu lalu, gue juga ngobrol masalah ini sama Ima.
Ima: "Tapi kamu punya ambisi buat jadi penulis, kan."
Jemi: "NGGAK."
Gue yakin saat itu Ima facepalm sangat dalam di hatinya.
Being the wise friend she actually is, dia bilang dengan nada nyante. "Kamu nggak sendirian kok. Kamu tau kasus gojek yang dilarang lewat sama tukang ojek-tukang ojek yang mangkal, kan? Mereka marah sama gojek karena mereka ngeraja gojek dan grab itu udah ngambil penghasilan mereka. Terus mereka ditanya sama wartawan-wartawan yang seliweran ngeliput gitu, 'Kalo gitu, kenapa nggak gabung sama Gojek aja, Mas?' dan kamu tau jawaban mereka apa, 'Males'."
Gue mengangguk-angguk takzim.
"Mereka males, tapi mereka marah kalo orang lain dengan effort lebih banyak itu lebih sukses. Nggak pa-pa kalo kamu nggak mau usaha, asal kamu nggak marah sama hasilnya." - Fathima Azzahra Sastroemidjojo, sebentar lagi enam belas tahun, salah satu manusia favorit gue di dunia.
Sejauh ini, jawaban Ima adalah jawaban yang paling mendekati dari apa yang gue cari. Meskipun belum sepenuhnya tepat, tapi gue yakin kok, suatu saat nanti gue bisa menemukan tujuan dan alasan gue.
Sampai ketemu di post selanjutnya!
![]() |
itulah sebabnya, Saudara, gue nulis. |
APAKAH INI PESAN DARI TUHAN BAHWA GUE SEBENERNYA PEMEGANG KUNCI KESELAMATAN DUNIA??!!? BAHWA GUE HANYALAH PION TAKDIR DAN KESELURUHAN HIDUP GUE HANYALAH KEBOHONGAN SEMATA?!!?!
Nggak, jelas nggak. Gue cuma kehilangan tujuan dan ambisi. Entah kehilangan atau selama ini gue emang nggak punya.
Selama ini, gue mendapatkan (hampir) segala sesuatu yang gue inginkan tanpa susah payah. Gue pernah menang lomba menulis nasional hanya karena gue gabut dan iseng-iseng nyoba, dengan usaha sebesar duduk manis di depan laptop selama satu setengah jam. Gue masuk sekolah favorit tanpa bener-bener usaha macam bimbel sampe malam dan beli buku-buku latihan soal (dan mengerjakannya). Selama SMP, nilai gue yang bagus bermodalkan dengerin guru sambil ngayal, plus narik-narik tangan temen lima belas menit sebelum ulangan buat minta diajarin (dan les Bu Roh, tapi di sana pun kerjaan gue cuma ngutang).
Bagaimana dengan kegagalan-kegagalan gue? Gue nggak melihat itu sebagai kegagalan. Bukan kayak quote-quote motivatif di OA line bahwa kegagalan itu awal kesuksesan. Bukan sama sekali. Lebih ke... apa ya? Setelah gue gagal, I found out that I don't really want them. Kalah lomba? Remed? Ya terus, kenapa? Toh nggak sering terjadi, dan kalo gue pikir-pikir... gue nggak terlalu pengen, kok. No loss at all.
![]() |
Gue bahkan lebih lempeng dari orientasi seksual temen-temen gue. |
Tapi, itu dulu.
Sekarang, gue masih menerapkan "pengen dikit-dikit, usaha kalo perlu" tapi kayaknya nasib mulai capek sama ketidaktahudirian gue. Nilai gue jelek, gue kalah di banyak lomba, dan serangkaian kemalangan lainnya.
Kalo lo tanya apa yang gue rasain... ya, gue sedih, tapi sedih yang y a u d a h. Gue gagal, terus... yaudah. Gue sedih tapi gue nggak punya ambisi buat nyelesain ini semua dengan baik. Gue punya banyak ide, tapi gue nggak punya alasan untuk mewujudkan mereka.
Tapi yang ngeselin adalah, gue peduli.
Gue boleh jadi nggak punya ambisi, gue boleh jadi mager-mageran bahkan hanya untuk nafas (nyaris literally), tapi gue peduli sama hal-hal yang akan datang di depan gue.
Gue belum pernah cerita tentang classmate gue yang satu ini, kan? Namanya Nicholas. Menurut pengamatan gue, dia super cuek sama segala sesuatu yang bukan passionnya. (ralat aku bila ada kesalahan, gaes).
Dia tidur di kelas, jarang dengerin guru, super nyantai bahkan ketika ulangan, dan hasilnya dia, ya... pasti nggak sebagus yang berusaha. Tapi dia nggak peduli. Jadi, ya, he got what he deserves and he didn't mind it. (sekali lagi, ralat gue, oke?)
MASALAHNYA GUE PEDULI, ASOE. *flips table* GUE NGGAK MAU TAPI GUE PEDULIIII
Dan gue rasa, dia nggak peduli pun sama hal yang memang BUKAN passionnya. Sementara gue? Gue nggak punya keinginan, tapi gue juga nggak bisa gagal karena bisa aja hal itu jadi passion gue di masa depan dan kegagalan kecil gue di masa kini akan sangat mempengaruhi masa depan gue. Gue peduli sama masa depan gue.
![]() |
This meme speaks to me on spiritual level. |
Kayak waktu itu, misalnya. Gue nggak pernah merhatiin atau nyatet di pelajaran fisika. Dan gue kira semua orang kayak gitu karena SIAPA SIH YANG PEDULI SAMA LENSA-LENSA KEPARAT INI HAH. SIAPA.
Karena itulah, gue langsung berseru "Wah, ambis, lu, Mi!" pas ngeliat Ismi nyatet.
Dan langsung disergah sama Nafisa, "bukan Ismi yang ambis, woy. Lunya aja yang nggak punya ambisi sama sekali."
Itu kali pertama gue mikir kalo, gue bukan kehilangan tujuan, Kawan. Memang gue nggak punya tujuan dari awal.
![]() |
tenkz naf telah menyadarkanku. |
Ima: "Tapi kamu punya ambisi buat jadi penulis, kan."
Jemi: "NGGAK."
Gue yakin saat itu Ima facepalm sangat dalam di hatinya.
Being the wise friend she actually is, dia bilang dengan nada nyante. "Kamu nggak sendirian kok. Kamu tau kasus gojek yang dilarang lewat sama tukang ojek-tukang ojek yang mangkal, kan? Mereka marah sama gojek karena mereka ngeraja gojek dan grab itu udah ngambil penghasilan mereka. Terus mereka ditanya sama wartawan-wartawan yang seliweran ngeliput gitu, 'Kalo gitu, kenapa nggak gabung sama Gojek aja, Mas?' dan kamu tau jawaban mereka apa, 'Males'."
Gue mengangguk-angguk takzim.
"Mereka males, tapi mereka marah kalo orang lain dengan effort lebih banyak itu lebih sukses. Nggak pa-pa kalo kamu nggak mau usaha, asal kamu nggak marah sama hasilnya." - Fathima Azzahra Sastroemidjojo, sebentar lagi enam belas tahun, salah satu manusia favorit gue di dunia.
Sejauh ini, jawaban Ima adalah jawaban yang paling mendekati dari apa yang gue cari. Meskipun belum sepenuhnya tepat, tapi gue yakin kok, suatu saat nanti gue bisa menemukan tujuan dan alasan gue.
Sampai ketemu di post selanjutnya!
Comments
Post a Comment