Mengusir Awan Gelap: Pada Mulanya

"Oh," aku menggumam selesai membaca hasil tesku dan bingung harus bereaksi apa. Aku menunda mengangkat kepalaku, mengetahui bahwa tatapanku akan bersirobok dengan terapisku yang agak-agak mirip malaikat. Keputusan yang aneh karena, Mbak Dilla, terapisku ini, adalah orang yang menanganiku, menganjurkan aku mengambil tes ini, dan yang kutebak memeriksa hasilnya juga. Kenapa harus malu?

"Gimana?" suara lembut Mbak Dilla menggugahku yang sudah tercenung menatap lantai. Ubin keramik, kira-kira satu meter persegi tiap kepingnya. Warnanya krem dengan semburat putih, meniru marmer. Dalam ruangan ber-AC seperti ini, kalau kupegang dengan telapak tanganku pasti dingin sekali. Kira-kira ada berapa petak ubin ya di ruang terapi ini?

"Jemi, you ok?" aku menengadah dan balas menatapnya. Rencanaku menghitung petak ubin sudah buyar. Canggung seperti biasa, aku cuma cengengesan.

"Eh... seenggaknya aku tahu apa yang salah. Ya. Gitu," aku mengangguk.

"Iya, penting bagi kita untuk tahu, dan---" Mbak Dilla menatapku dengan lembut. "---mengakuinya. Bagian penting yang banyak manusia sering lupa. Nggak apa-apa kan?"

Nggak apa-apa, ndasmu! Nyaris kusembur malaikat di depanku ini. Apanya yang nggak apa-apa? Well, right, setidaknya aku tahu apa yang salah, namun mengenal pikiranku yang dramatis, ia pasti akan sibuk membuat pikiran-pikiran mengganggu lagi, semakin kuat setelah mendapat validasi bahwa betul-betul ada yang salah padaku.

Dan, sumpah, aku benar-benar tidak punya waktu untuk itu.

Berkuliah di salah satu jurusan tersulit di PTN ternama, aku betul-betul tidak punya waktu untuk jadi pesakitan. Bukannya aku sibuk menyelamatkan dunia atau apa, tapi aku sadar betul kadar otakku yang tergolong pas-pasan di sini hanya bisa bekerja maksimal dalam keadaan tentram, damai, dan ketidakmungkinan-ketidakmungkinan lainnya. Aku harus bekerja keras untuk membayar apa yang telah dikorbankan orang tuaku---dan rakyat Indonesia, sejujurnya, mengingat fasilitas Bis Kuning gratis dan perpustakaan sekeren Crystal of Knowledge tidak murah dan sebagian disubsidi dari uang rakyat. Belum lagi ambisi-ambisiku: lulus tepat waktu, ikut lomba (nasional kalau bisa), jadi project officer acara berskala nasional yang jadi penentu pembangunan infrastruktur bangsa dalam waktu lima tahun ke depan.

Yah, intinya, aku sebetulnya sedang sibuk menyelamatkan dunia dan tidak punya waktu sama sekali untuk... apa? Depresi tingkat sedang dan gangguan kecemasan akut?

Aku tahu betul dari mana ini semua bermula. Hari pertama puasa, pukul tujuh pagi. Dia pergi. Akhirnya, setelah berbulan-bulan. Bukan salahnya sepenuhnya. Aku bisa melanjutkan dengan detail-detail selengkap mungkin---bagaimana aku menerima berita ini di stasiun kereta, bagaimana aku memohon sampai nyaris gila, bagaimana asma menyerang lalu aku berdoa supaya semaput saja---

Mataku memfokuskan lensanya pada kertas di depanku secara otomatis. Ada logo makara di pojok kiri, kuning menyala. Aku merasakan kakiku bersilangan di bawah meja, telapaknya menyentuh bagian dalam sepatuku yang dilapis busa. Tanganku memegang kertas tersebut, dan jemariku berusaha merasakan teksturnya. Tebal, berulir, dan kekuningan, seperti kertas concorde. Pendingin ruangan memainkan anak rambutku---

---aku bisa melanjutkan itu kalau mau. Itu adalah metode grounding, metode di mana kita harus memenuhi indra-indra kita dengan apa yang terjadi di sini-kini: cahaya, bunyi, tekstur, aroma, dan rasa. Bertujuan untuk lepas dari belenggu pikiran sendiri dan memijak realita kembali. Metode yang kugunakan sejak aku tahu ada yang tidak beres dari bagaimana pikiranku hobi error seketika lantaran dipenuhi pikiran-pikiran buruk yang membuatku sesak nafas. Metode ini sudah kugunakan bertahun-tahun, bahkan sebelum populer di internet dan dijadikan pertolongan pertama dalam serangan-serangan panik.

Saat kunjunganku ke terapis pertama kali, waktu kukatakan bahwa aku sudah mencoba segala cara untuk lari dari gelapnya benakku sendiri, aku berkata jujur. Metode bernafas 478, berhitung sampai seratus, grounding, meditasi, afirmasi, you name it. Aku sudah mencoba semua pertolongan, baik darurat maupun jangka panjang, untuk lari dari kegelapan pikiranku.

Semua sukses, dan aku hanya perlu menyimpan ketakutan tak berdasar itu di bagian belakang kepalaku. Lalu saat tragedi itu terjadi, mendadak ada begitu banyak hal yang harus kubuang ke gudang memoriku, lalu pintunya macet. Pintunya macet, gudangnya meledak, dan semua kerisauan yang kupendam selama bertahun-tahun berlomba keluar.

Minggu itu berlalu dengan aku tinggal di tempat tidur selama tiga hari, tanpa mengonsumsi apapun kecuali air putih. Mogok makan ini berlangsung hingga lima hari, sampai aku memutuskan untuk pergi ke terapis yang letaknya hanya beberapa meter dari gedung kampusku.

Teman-temanku datang berkunjung, dan aku menghargai mereka, betul kok, namun aku tidak sanggup mengenyahkan perasaan seberapa kesepiannya aku dalam gelembung yang kubuat sendiri. Satu hal yang kupelajari: kebahagiaan umum dibagi-bagi, namun kesedihan adalah milikmu sendiri. Seutuh-utuhnya.

Itulah sebabnya, tidak peduli seberapa erat teman-temanku memelukku dan berusaha membuatku tertawa, aku merasa terpisah dari linimasa yang ada.

Bumi berotasi terlalu cepat, di mana semua orang bergerak namun aku tetap di tempat. Di sisi lain, aku memandang jam wekerku dan berharap waktu dipercepat menuju tiga bulan dari tragedi itu, di mana lukanya sudah sembuh, di mana pikiran jahatku sudah jinak, di mana sedihku ogah datang-datang lagi.

Tapi, aku cukup realistis kok, untuk tahu itu tidak mungkin terlaksana. Jadi, menjadi diriku yang umumnya berhasil mencari solusi sesingkat-singkatnya, aku mencari kontak psikolog Klinik Makara, membuat jadwal, dan pergi ke sana untuk pertemuan pertamaku, empat hari setelah tragedi itu.

Orang bilang, mencari bantuan profesional bukanlah akhir, melainkan awal dari petualangan menuju kesembuhanmu melalui medan yang suliiiit sekali. Seringkali dalam perjalanan itu, beberapa orang gagal, harus berganti teman perjalanan (dalam hal ini aku cukup beruntung terapisku adalah jelmaan malaikat), atau minum obat-obatan.

Dan, yah, meskipun kubilang aku tidak punya sisa tenaga untuk memerangi sakit mentalku, aku tidak punya pilihan lain, kan? Karena itulah, pada hari ini, tiga pertemuan setelah keputusan terberaniku, aku duduk di depan Mbak Dilla, membaca diagnosis depresi dan gangguan panikku dengan tenang.

Sebuah awal dari petualangan yang berani. Segmen pertama sebuah jurnal yang akan menjadi saksi kebangkitanku melawan depresi.

"Jadi... aku harus dirujuk ke mana lagi?"

Comments

Popular Posts